***
"BOLEHKAH saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.
"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.
Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.
"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.