Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Para Pemilih di Kampung

8 Juli 2014   22:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:58 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="434" caption="(foto: tempo.co)"][/caption] Saat pilih memilih pemimpin, entah itu Pilpres, Pilkada, sampai Pilkades, mayoritas penduduk desa akan mengalami dilema. Entah ini terjadi di desa atau kampung di tempat Anda semua berada. Dari beberapa rekan yang kebetulan menetap di desa atau kampung, masa pemilihan menjadi 'ketakutan' tersendiri. Dari pengalaman mereka memilih di desa, ada sebuah aksioma dasar. Yaitu presumsi, ikut suara mayoritas atau ada akibatnya. Yang memang sudah terjadi pada beberapa warga desa yang mencoba menyuarakan pilihannya. Salah seorang teman yang sempat maju pilihan Lurah di desanya, mengabarkan bahwasanya ada satu keluarga yang dikucilkan gegara beda pilihan. Karena, walaupun di bilik suara mereka memilih, namun warga tahu siapa yang tidak memilih satu calon. Dan baru saja teman saya bercerita. Pada Pilpres ini ia ingin cari 'aman' di desanya. Karena mayoritas warga kampung sudah membulatkan tekad memilih Capres nomor tertentu. Walau saya tahu teman saya ini mendukung Capres bersebrangan. Karena ia pun faham aksioma desa atas suara mayoritas. Ia hanya takut jika terjadi apa-apa dengan keluarganya nanti. Walau yang ia tahu bukan gangguan fisik, tapi stigma sosial yang berlaku. Jika stigma sosial dengan jalan pengucilan dari lingkungan warga terjadi. Siapapun pasti tidak betah tinggal dan menetap di satu desa. Kuatnya tali kekeluargaan dan guyub rukun di desa atau kampung, sepertinya juga memiliki sisi yang 'negatif'. Berbeda dengan kota besar atau metropolitan, desa memiliki hukum tidak tertulisnya sendiri. Jika kota besar yang dihuni beragam etnis dengan beragam tingkat pendidikan warganya. Di desa, etnis dan tingkat pendidikan harus tunduk pada satu aturan baku. Aturan ini walau tidak tertulis, namun sangat menyentuh prinsip dasar desa, yaitu guyub rukun. Semua keputusan yang ada harus bersama-sama diambil, dan dihormati bersama-sama. Titik. Heterogenitas kota besar atau metropolitan mungkin sangat acuh. Prinsip altruism yang berkonotasi ignorance (kecuekan) mungkin lebih menonjol. Sehingga, pilihan dan selera individu monggo kerso (silahkan saja). Homogenitas suku dan kepercayaan pun, saya kira memupuk rasa guyub rukun warga desa. Saya yang tinggal di Solo mungkin bisa melihat, satu kampung berasal dari etnis Jawa. Adapun beberapa etnis yang berbaur, itupun hasil pernikahan atau berdagang. Toh, mereka yang berbeda etnis pun akan turut dan taat pada perturan desa. Semua dimusyawarahkan untuk mufakat dan bersama. Walau ada perbedaan, jangan sampai perbedaan ini menyinggung guyub rukun yang ada. Kembali ke soal pemilihan warga desa. Entah dari mana atau dari siapa. Saat pemilihan apapun di desa semua seperti sudah dititeni (dicap dan dihitung). Walau surat suara sudah masuk kotak suara. Pada masa penghitungan, warga desa atau kampung tahu siapa yang milih siapa. Juga jumlahnya harusnya berapa. Dan inipun, sampai kepada nama dan kapan si pemilih memasukkan suaranya. Sehingga, jika ada 'anomali' suara, mka dianggap 'pembangkangan'. Lalu pengucilan fisik terjadi. Seperti teman saya ceritakan, biasanya pengucilan ini terjadi beberapa bulan. Biasanya dimulai dengan ngrasani (bergosip). Sampai yang frontal, tidak senyum atau cuek saat orang tadi menyapa. Lalu kemudian, stigma sosial yang sulit dihapus selamanya. Karena ia pilih yang beda dari warga kampung, selamanya ia dicap 'berbeda'. Saya pun belum bisa dan mampu menalar resolusi dari semua ini. Karena mayoritas warga desa yang masih tradisional dan guyub rukun, tentunya akan menjadi 'gangguan' tersendiri jika ada penyuluhan tentang diskriminasi ini. Warga desa seolah terikat fisik dan batin satu sama lain. Toh baiknya, hal ini menjaga keutuhan warga desa itu sendiri. Dan juga menjada rasa kekeluargaan sesama warga desa. Namun, kesatuan ini pun memiliki dampak yang saya pun baru bisa sedikit menyimpulkan. Salam, Solo, 08 Juli 2014 03:05 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun