Sungkem usai shalat Idul Fitri menjadi ritual setiap Lebaran yang tidak bisa dilupakan. Turun-temurun setiap keluarga akan mengulang dan mewariskan protokol sungkeman. Karena begitu sistematis dan hirarkisnya prosesi sungkeman kala merayakan Lebaran. Maka jika ada tindakan atau perilaku yang mengganggu kesakralan prosesi ini dianggap tidak sopan.Â
Banyak orang tidak ingin menjadi individu yang dianggap menyalahi aturan ini. Bahkan mungkin untuk sekadar berfoto selfie di kala berbaris untuk bersungkem kepada nenek buyut kita. Bisa saja ada saudara, paman, atau bibi yang menyindir kita langsung atau tidak langsung.
Gadget atau gawai memang sudah menjadi bagian integral kehidupan manusia modern. Dimanapun dan kapanpun, baik smartphone, tablet, atau wearables kita akan bawa dan perhatikan.Â
Lebih baik tertinggal dompet di rumah daripada tidak bawa smartphone. Bahkan sebelum kita tidur sampai sesudah kita terbangun, gawailah yang pertama terpikirkan dan dicari. Begitu lekat kehidupan dan perilaku kita dengan gawai. Â
Namun, ada beberapa konteks situasi dimana gawai baiknya dijauhkan. Contohnya adalah saat sedang makan. Walau kita sering melihat orang asyik menikmati makanannya dengan memegang smartphone-nya.Â
Tetapi berdasarkan aturan table manner, membawa gawai ke meja makan adalah sebuah perbuatan yang negatif. Selain mengalihkan fokus kepada menikmati makanan. Gawai pun sering mengurangi interaksi dan komunikasi kita dengan orang yang makan bersama kita.
Ada sebutan khusus perilaku orang-orang yang begitu lekat dengan gawainya. Sampai-sampai ia lupa diri berada di kerumunan orang. Perilaku ini disebut phubbing.Â
Dimana perilaku ini dengan sengaja mengasingkan diri di tengah keramaian. Baik saat berkumpul dengan teman atau keluarga, bahkan reuni sekolah. Sehingga, ada kesan perilaku phubbing semacam sikap anti-sosial. Beberapa orang yang begitu fokus dengan gawainya kadang tidak menjawab saat ditanya atau mengobrol.
Sehingga terjadi paradoks dari interaksi manusia modern dengan gawai. Gawai tidak pernah dan sulit lepas dari semua rutinitas dan interaksi sosial. Namun di satu sisi, orang yang terlalu gandrung dengan gawainya bersikap tidak acuh atau tidak peduli. Sehingga orang memakluminya dalam konotasi negatif.Â
Bayangkan kalau perilaku phubbing terjadi saat sungkem. Sedang momen ini begitu personal bahkan sakral. Mengapa momen sungkem dianggap demikian?
Karena hanya pada momentum Lebaran, hampir semua anggota keluarga besar bisa berkumpul. Kadang tidak memandang keyakinan atau agama dari anggota keluarga. Momen ini penting juga bagi keluarga yang baru bisa mudik 5 tahun sekali, karena tinggal di luar negri. Prosesi ini begitu personal.