Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasib Nasionalisme dalam Dunia Hiper-Konektivitas

10 Desember 2019   00:53 Diperbarui: 10 Desember 2019   08:22 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Network oleg Geralt Altman - Foto: pixabay.com

Hiper-Nasionalisme Dalam Globalisasi Hiper-Konektivitas
Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lesson for the 21st Century mengetengahkan sebuah pertanyaan serius:

"Given that the whole of humankind now constitute a single civilization, with all people sharing common challenges and opportunities, why do Britons, American, Russians, and numerous other groups turn toward nationalistic isolation?" (hal. 110)

Apa yang dipertanyakan Yuval menyoal rapuhnya nasionalisme dalam globalisasi hiper-konektivitas, patutnya kita renungkan. Ketidakpastian atau volatilitas ekonomi, politik, dan sosial di Hong Kong bukan tidak mungkin berpengaruh ke Indonesia. 

Pun nyatanya, perang dagang antara AS dan Tiongkok membawa serta resesi ekonomi global yang kian terasa potensi kerusakannya.

Sedang identitas saya, Anda, dan banyak orang di sekitar kia dibatasi dengan KTP dan paspor. Selain menjadi sebuah simbol administrasi, sekuriti, dan birokrasi. Identitas kenegaraan setidaknya menjadi penanda bahwa kita menjadi bagian resmi negara. Tidak menjadi manusia stateless. 

Namun, sistem ekonomi dan politik global kini secara subtil dipegang oleh mogul teknologi dunia. Pemeritah kebanyakan negara akan tidak pernah bisa lepas dari infrastruktur para raksasa teknologi global. Demokrasi pun dibangun, dipraktikkan, bahkan dihancurkan via dunia digital. 

Populasi sebuah negara lebih mudah bergerak untuk berdemonstrasi via sosial media. Apa yang terjadi di Myanmar tahun 2015-2017 adalah akumulasi bigotri dan rasisme di Facebook. Duterte pun menguasai ranah publik dengan mengawasi linimasa Facebook dengan cyber troops-nya.

Sedang di tingkat yang lebih sophisticated di negara maju, praktik negara polisi sudah lebih maju. Tiongkok sudah lebih dulu menerapkan splinternet di negaranya. 

Maka mudah bagi Xi Jin Ping mengawasi, mengatur, dan mensegregasi publik. Bahkan mengisolasi dan "menaturalisasi" kaum Uighur. Rusia dengan pun kini berlomba dengan waktu dan miliaran Rubel membangun internet khusus Rusia.

Negara maju pun tak jarang mengalami disrupsi dan propaganda via Google atau Facebook. AS masih bingung memperlakukan kerumitan mengatur mogul teknologi di tanah mereka sendiri. Peristiwa Brexit dan Hong Kong yang bergemuruh di sosial media, menular ke dunia nyata.

Skandal Cambridge Analytica menjadi tamparan keras secara politis untuk pemerintahan AS. Sedang, Uni Eropa pun tak kalah pening mengatur invasi dan eksploitasi data pribadi, distribusi ujaran kebencian, dan rasisme di linimasa sosmed mereka. 

Aturan tegas dalam GDPR masih belum mampu mengurangi pun mencegah ekses negatif dunia digital yang masih terjadi.

Indonesia dengan ratusan juta users berada di perlintasan kelindan peliknya efek dunia digital. Ketika aturan pada dunia digital diperketat. Imbasnya pelambatan ekonomi digital sampai lemahnya inovasi dan produk rintisan bangsa sendiri. 

Di sisi lain, ekosistem ekonomi seperti ini tidak baik. Ratusan miliar duit rakyat Indonesia pergi ke luar negeri tanpa dipajaki dengan fair. Belum lagi potensi iklan yang dipasang korporasi dan individu di platform sosmed yang uangnya pun masuk ke rekening mogul teknologi.

Apakah Kamu Cinta Tanah Air?
Jika kita bertanya ke ASN apakah beliau kamu cinta Indonesia? Sudah barang tentu akan muncul jawaban afirmatif. Begitupun pada kita semua yang bisa jadi beragam jawabannya. Mulai dari mengangguk sampai bertanya kembali dengan sarkas dapat mungkin muncul.

Mencintai kelompok atau tribalisme menjadi insting manusia. Cinta ini biasanya ditunjukkan dengan loyalitas dan kinerja untuk mencapai tujuan bersama. Dari mulai ingin menjadi bagian sebuah keluarga, kelompok, organisasi, sampai konsep negara. 

Semua orang ini dicirikan pada sebuah entitas kelompok. Begitupun menjadi Indonesia.

Namun kini, kita patut merefleksikan kembali konsep nasionalisme seperti pertanyaan Harari di atas. Dengan ekosistem informasi dunia digital yang begitu lekat dengan kita. Banyak orang mungkin akan membandingkan negeri sendiri dengan negeri orang lain. 

Peribahasa lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang menjadi omong kosong.

Dengan melengkapi persyaratan administrasi, kita bisa menjadi warga negara manapun. Para akademisi yang sekolah di luar negeri yang akhirnya tidak pulang. Karena memilih kenyamanan finansial dan akademik negara asing yang baik. 

Atau hampir setiap hari ada TKI yang dikirim ke negara asing mencari dollar atau real. Pun sebaliknya, negara ini juga menerima TKA dengan membatasi jumlahnya. Secara politis dan ideologis pun, orang Indonesia bisa memilih menjadi pejuang khilafah di banyak negara Timur Tengah atau Afrika.

Secara subtil perilaku mencintai negara lain juga kita lakukan. Dari mulai perasaan superior memiliki barang impor. Juga menjadi paling populer karena sering traveling ke luar negeri. Sampai memiliki pola pikir, attitude, dan gaya bicara ke-Barat-baratan menjadi kebanggaan banyak orang. 

Tidak ada yang salah dengan perilaku ini. Sama normalnya dengan menjadi TKI. Namun, yang kita patut pertanyakan adalah apa benar masih ada konsep nasionalisme murni yang kita anut dan pahami?

Dan pemurnian konsep nasionalisme kini dipraktikkan pemerintahan Jokowi. Namun konsep nasionalisme yang dipraktikkan cukup mengkhawatirkan. 

Apa yang kini dipraktikkan Jokowi dan jajaran menterinya, dengan buzzword NKRI Harga Mati yang ramai beredar ketika kampanye. Lalu kabarnya muncul propaganda disinformasi anti-Papua Merdeka. 

Gejala hiper-nasionalisme terlihat lamat-lamat dalam cakrawala pandang masyarakat.

Sedang publik masih sibuk dengan konsep halal kelokalan. Walau padahal konsep ini sudah menjadi standar global. Atau publik yang masih sibuk dengan maraknya isu SARA. Dimana praktik intoleransi dari mulai melarang peribadatan sampai pembakaran rumah ibadah terjadi dan terulang.

Celana cingkrang dan cadar pun menjadi concern berlebihan jajaran petinggi negara ini. Tindakan kuratif dengan melarang yang kini dilakukan digaungkan dengan nada penegakan disiplin dirasa kurang tepat.

Sedang pada taraf pendidikan karakter dan nasionalisme bangsa ini masih terkatung-katung tanpa arah. Karakter nasional apa yang bisa dirembuk dari ratusan budaya dan tradisi yang dimiliki bangsa ini?

Sedang konsep kebajikan global begitu tidak sinkron dengan apa yang siswa hadapi di sekolah dan di rumah. Berpikir kritis dan diskusi misalnya. Bukan menjadi kebiasaan yang sering kita temui bahkan di kelas. 

Sedang dalam 90 menit pertemuan siswa dengan civic education. Apa mungkin menjadikan generasi muda Indonesia bangga menjadi Indonesia. Karena sejauh ini, kebanggaan menggempita hanya saat gelaran pertandingan olahraga nasional/regional/internasional saja.

Maka...?

Bangsa kita sudah terikat kuat dalam jejaring global dunia teknologi. Demokrasi terkoyak di sana-sini. Sedang Indonesia kini sibuk memperkuat nasionalisme. 

Bukankah ini yang dilakukan Donald Trump dengan kampanye MAGA? Serupakah dengan Narendra Modi dengan negara nativis Hindu? 

Atau kita masih meraba dan mencari apa arti Indonesia di tengah jejaring global teknologi dan disrupsinya?

Salam,
Singapore, 10 December 2019
01:47 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun