Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Aku, Kamu, dan Hak untuk Dilupakan (Oleh Google)

1 Agustus 2019   22:42 Diperbarui: 2 Agustus 2019   23:12 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sadness oleh Shit and Sheriff - Foto: pixabay.com

Sekilas, judul di atas bernuansa romantis atau puitis. Ada kenangan yang dibangkitkan dalam fikiran. Ada memori yang berkelebat sejenak di hati. Hak untuk dilupakan pun menjadi oposisi abadi kerinduan.

Namun, konten artikel ini bukan tentang kematian rindu di tangan melupakan. Ada isu privasi digital yang harus kita fahami bersama. Dan yakinlah, isi artikel ini akan berguna untuk aku dan kamu di satu masa nanti.

Hak untuk dilupakan (right to erasure) menjadi sorotan publik dan media di tahun 2014. Saat itu, Mario Costeza Gonzales merasa Google merisak reputasi finansialnya. Hal ini karena Google memunculkan berita pelelangan rumah Mario akibat hutang di koran Lavanguardia. Padahal iklan Mario tersebut berasal dari tahun 1998.

Dimulai tahun 2009, Mario berjuang untuk dilupakan iklannya oleh Google. Melalui pengajuan kasus ke pengadilan yang pelik dan abstrak sifatnya. Akhirnya Mahkamah Agung Eropa mengabulkan permohonan Mario tahun 2014. Dan Google diminta segera menghilangkan iklan 36 kata tersebut.

Di tahun 2012, Uni Eropa mengajukan draft undang-undang tentang hak untuk dilupakan ini. Dalam press release yang disampaikan Wakil Presiden Uni Eropa, Viviane Reding, dinukilkan aturan berikut:

"... Another important way to give people control over their data: the right to be forgotten. I want to explicitly clarify that people shall have the right -- and not only the 'possibility' -- to withdraw their consent to the processing of the personal data they have given out themselves."

Salah satu cara publik memiliki kontrol atas data pribadi: hak untuk dilupakan. Saya ingin menegaskan bahwa hal ini sebagai hak dan bukan sebuah "kemungkinan" belaka. Yaitu untuk mengizinkan atau tidak data pribadi digunakan.

Perdebatan apakah Google bisa melakukan kontrol atas data users pun menjadi pelik. Meg Ambrose, pakar komunikasi digital dari Georgetown University, membenarkan hal ini.

Google bukan sebagai pengontrol data yang diunggah users internet. Namun, Google via mesin perambannya berfungsi sebagai penunjuk. Dalam hal ini semua data apapun yang users ingin tahu dan dapatkan.

Walau berkaca pada kasus Mario, putusan Mahkamah Agung Uni Eropa menentukan Google adalah pengontrol data. Selain ketetapan ini akan memberikan beban berat untuk Google. Secara implisit, Google "ditetapkan" sebagai pengontrol data user, tambah Meg Ambrose. 

Uni Eropa pun mengatur hak untuk dilupakan dalam GDPR tahun 2016. Secara khusus hak ini (right to erasure) dinukilkan dalam Article 17 yang intinya mengatur penghapusan data users oleh pengontrol; atas izin users, berdasar hukum berlaku dan dilakukan sebaik-baiknya.

Code oleh Markus Spiske - Foto: pixabay.com
Code oleh Markus Spiske - Foto: pixabay.com
Namun di sisi Google, hak untuk dilupakan ini menimbulkan isu lain. Sejak 2014, atau saat Mario memenangkan kasusnya, ada 650.000 lebih permintaan yang serupa. Mayoritas permintaan ini berupa penghilangan beberapa tautan. Jumlah permohonan ini untuk lebih dari 2,4 juta tautan. Dengan hanya sekitar 40% permohonan tautan tersebut dikabulkan.

Sampai 2017, ada 400.000 permintaan serupa. Dengan sekitar 1.000 pemohon yang merupakan 'pelanggan' hak untuk dilupakan. Dan kebanyakan pemohon adalah individu yang khawatir data pribadinya disalahgunakan publik. Namun sejauh ini, Google menghilangkan tautan kebanyakan dari Eropa.

Dalam menangani beban moral dan etika hak tersebut. Google meratifikasi permohonan dengan dasar per kasus. Dalam hal ini, Google mengaturnya dengan:

"Determining whether content is in the public interest is complex and may mean considering many diverse factors, including---but not limited to---whether the content relates to the requester's professional life, a past crime, political office, position in public life, or whether the content is self-authored content, consists of government documents, or is journalistic in nature."

Permohonan hak untuk dilupakan dilakukan dengan menimbang apakah data pribadi terkait; riwayat profesional, kejahatan masa lalu, pilihan politik, dan peran pemohon dalam masyarakat. Dan permohon dapat dikabulkan dengan melihat; konten berhak cipta, dokumen pemerintah, dan karya jurnalistik.

Indonesia sendiri sudah mengatur hak untuk dilupakan. Tercantum jelas pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No 16 tahun 2016. Khususnya pada pasal 26 ayat 3 yang berbunyi:

"Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajibmenghapus Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik yang tidak relevan yang beradadi bawah kendalinya atas permintaan Orang yangbersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan."

Hacker oleh Darwin Laganzon - Foto: pixabay.com
Hacker oleh Darwin Laganzon - Foto: pixabay.com
Sayangnya, aturan right to erasure UU ITE pasal 26 ayat 3 masih mengundang pertanyaan kritis. Pertama, tidak ada kategorisasi detail tentang informasi yang tidak relevan. Kedua, walau mekanisme penghapusan termaktub dalam ayat 4. Namun prosedurnya belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) apapun. Terakhir, apakah pengadilan siap menjalan fungsi dan tugas sesuai pasal 26 tersebut.

Dan memang, pasal yang mengatur hak untuk dilupakan ini belum berlaku. Menurut Kemenkominfo, pemerintah dan stakeholder terkait sedang menggodok mekanisme penghapusan data dalam PP. Dan belum pasti kapan PP dan pemberlakukannya akan dilakukan. 

Saat dunia Barat khawatir (bahkan paranoid) pada isu invasi privasi dan penghapusannya. Sepertinya di Indonesia isu ini masih wacana. Adanya ketidakacuhan publik. Dan lemahnya perundangan menyoal perlindungan privasi. Maka masih banyak pelanggaran dan eksploitasi privasi di Indonesia.

Kembali melihat realitas di linimasa. Orang Indonesia sepertinya tidak ingin dilupakan. Dengan alasan ingin eksis dan menjadi trending. Tapi kadang jejak digital bisa saja menjatuhkan diri kita sendiri. 

Atau, memang kita sudah cukup kuat menahan rindu. Sampai aku atau kamu tidak pernah memerlukan hak untuk dilupakan? 

Salam,

Wonogiri, 01 Agustus 2019

10:40 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun