Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Aku, Kamu, dan Hak untuk Dilupakan (Oleh Google)

1 Agustus 2019   22:42 Diperbarui: 2 Agustus 2019   23:12 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sadness oleh Shit and Sheriff - Foto: pixabay.com

Code oleh Markus Spiske - Foto: pixabay.com
Code oleh Markus Spiske - Foto: pixabay.com
Namun di sisi Google, hak untuk dilupakan ini menimbulkan isu lain. Sejak 2014, atau saat Mario memenangkan kasusnya, ada 650.000 lebih permintaan yang serupa. Mayoritas permintaan ini berupa penghilangan beberapa tautan. Jumlah permohonan ini untuk lebih dari 2,4 juta tautan. Dengan hanya sekitar 40% permohonan tautan tersebut dikabulkan.

Sampai 2017, ada 400.000 permintaan serupa. Dengan sekitar 1.000 pemohon yang merupakan 'pelanggan' hak untuk dilupakan. Dan kebanyakan pemohon adalah individu yang khawatir data pribadinya disalahgunakan publik. Namun sejauh ini, Google menghilangkan tautan kebanyakan dari Eropa.

Dalam menangani beban moral dan etika hak tersebut. Google meratifikasi permohonan dengan dasar per kasus. Dalam hal ini, Google mengaturnya dengan:

"Determining whether content is in the public interest is complex and may mean considering many diverse factors, including---but not limited to---whether the content relates to the requester's professional life, a past crime, political office, position in public life, or whether the content is self-authored content, consists of government documents, or is journalistic in nature."

Permohonan hak untuk dilupakan dilakukan dengan menimbang apakah data pribadi terkait; riwayat profesional, kejahatan masa lalu, pilihan politik, dan peran pemohon dalam masyarakat. Dan permohon dapat dikabulkan dengan melihat; konten berhak cipta, dokumen pemerintah, dan karya jurnalistik.

Indonesia sendiri sudah mengatur hak untuk dilupakan. Tercantum jelas pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No 16 tahun 2016. Khususnya pada pasal 26 ayat 3 yang berbunyi:

"Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajibmenghapus Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik yang tidak relevan yang beradadi bawah kendalinya atas permintaan Orang yangbersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan."

Hacker oleh Darwin Laganzon - Foto: pixabay.com
Hacker oleh Darwin Laganzon - Foto: pixabay.com
Sayangnya, aturan right to erasure UU ITE pasal 26 ayat 3 masih mengundang pertanyaan kritis. Pertama, tidak ada kategorisasi detail tentang informasi yang tidak relevan. Kedua, walau mekanisme penghapusan termaktub dalam ayat 4. Namun prosedurnya belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) apapun. Terakhir, apakah pengadilan siap menjalan fungsi dan tugas sesuai pasal 26 tersebut.

Dan memang, pasal yang mengatur hak untuk dilupakan ini belum berlaku. Menurut Kemenkominfo, pemerintah dan stakeholder terkait sedang menggodok mekanisme penghapusan data dalam PP. Dan belum pasti kapan PP dan pemberlakukannya akan dilakukan. 

Saat dunia Barat khawatir (bahkan paranoid) pada isu invasi privasi dan penghapusannya. Sepertinya di Indonesia isu ini masih wacana. Adanya ketidakacuhan publik. Dan lemahnya perundangan menyoal perlindungan privasi. Maka masih banyak pelanggaran dan eksploitasi privasi di Indonesia.

Kembali melihat realitas di linimasa. Orang Indonesia sepertinya tidak ingin dilupakan. Dengan alasan ingin eksis dan menjadi trending. Tapi kadang jejak digital bisa saja menjatuhkan diri kita sendiri. 

Atau, memang kita sudah cukup kuat menahan rindu. Sampai aku atau kamu tidak pernah memerlukan hak untuk dilupakan? 

Salam,

Wonogiri, 01 Agustus 2019

10:40 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun