Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Verifikasi Teman Sendiri

7 Januari 2019   11:52 Diperbarui: 7 Januari 2019   17:19 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posting - Foto: kaboompics.com

Mungkin Anda sendiri pernah menemukan ilustrasi berikut:

"Teman-teman. Apa benar posting ini benar ya? Kayanya hoaks...??" (lalu berbagi link di grup WhatsApp)

"Eh, gw dapet video penculikan nih. Benaran ga ini ya?" (sembari posting video tadi di timeline Facebook)

"Mohon verifikasi @mention @mention, dst. Apa bener foto ini ya?" (dan berkicau di linimasa Twitter sambil me-mention teman dan selebtwit)

Atau beragam ilustrasi dengan narasi yang berbeda. Bentuk posting iseng-iseng diatas tentu bukan saja bertanya. Namun maksud implisitnya adalah mencari verifikasi. Si pemosting ingin tahu kebenaran atau fakta dari sebuah informasi, baik narasi, link, video, atau foto.

Apresiasi patut diberikan untuk si pemosting. Karena ia berusaha mencari fakta dibalik sebuah informasi digital. Satu langkah yang baik guna membuat informasi tadi hygiene alias bersih atau sehat. Dan adagium sharing is caring tetap kita yakini di dunia digital.

Namun kita perlu berhati-hati dengan model verifikasi teman sendiri seperti diatas. Karena setidaknya ada 3 efek samping dari verifikasi model di atas:

Pertama, kabar bohong malah terdistribusi lebih luas. Dengan kata lain, teman kita bertanya ke temannya. Dari temannya teman, lalu bertanya ke teman-teman lainnya. Begitu seterusnya sampai mungkin tidak terhingga.

Maka rantai persebaran hoaks itu sendiri semakin luas dan kuat. Sebuah hal yang ingin dicapai si perekayasa kabar bohong. Yaitu hoaks jadi viral dan luas jangkauan dan cakupan hoaks. Dan kita menjadi agen sukarela. Sedang si perekayasa mungkin diuntungkan secara finansial untuk melakukannya. 

Kedua, informasi bodong tadi semakin sulit dilacak pembuat dan penyebar awalnya. Walau secara digital forensik mencari pembuat atau pemosting awal hoaks itu mungkin. Sedang sebaran hoaks lebih cepat daripada verifikasi faktanya. 

Aparat mungkin tidak memproses semua laporan berita hoaks. Karena sejauh saya tahu, hoaks yang diproses adalah yang mampu menimbulkan konflik sosial. Sedang setiap hari puluhan hoaks beredar di linimasa kita bukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun