Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Siapa Bilang Kita Merdeka di Dunia Maya?

17 Agustus 2018   12:49 Diperbarui: 17 Agustus 2018   15:55 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Privacy - ilustrasi: elgrupoinformatico.com

Jika bicara kemerdekaan akan selalu berkait dengan kebebasan. Merdeka menjadi konsep yang lazim menjadi oposisi biner opresi, tirani, atau alienasi. Negara/kelompok/pribadi yang merdeka memiliki kebebasan. Namun bukan kebebasan tanpa batas. Tetapi kebebasan yang dibatasi dengan konvensi sosial berdasar norma, budaya, dan ideologi.

Sedang berbicara internet, pikiran terpaut pada kemerdekaan euforis. Internet menjadi dunia dimana batas-batas konvensi kabur, bahkan hilang. Mulai dari perundungan sampai hal-hal tabu bebas diakses dan dikonsumsi netizen. Internet via sosmed kadang menjadi dunia katarsis emosional realitas yang menjemukan.

Tetapi sejatinya kita tiada merdeka di dunia maya. Kebebasan adalah ilusi yang disajikan algoritma mesin pencari dan sosial media.

Alasan pertama, karena internet berlandaskan pada ideologi korporasi. Netizen/users adalah konsumen yang kalau bisa dieksploitasi sisi finansialnya. Google mendengar percakapan, menerka ketik QWERTY, atau membaca arah pandang mata kita. Sosmed menghitung like pada post sebuah akun, menghitung jumlah login per hari, sampai meraba jejak situs yang pernah kita buka. 

Hal-hal diatas menjadi dasar membaca perilaku. Dalam perilaku ini akan terbaca pola konsumsi. Saat pola konsumsi terbaca, iklan yang dimunculkan pun terlihat. Dan iklan yang disuguhkan kian personal dan real-time. Mungkin obrolan dengan teman soal FlashDisk baru keluaran X, bisa muncul iklannya saat membuka sebuah situs. Ajaib? Tidak bagi yang mengerti.

Alasan kedua, adanya latensi filter bubble via sosmed. Di era post-truth, dimana kebenaran adalah berdasar keyakinan individu. Filter bubble atau gelembung bias semakin memupuk mindset post-truth.  

Perspektif ideologis dan partisan di sosmed adalah bias dikotomi yang tidak disadari. Orang merasa menjadi bagian suatu kelompok sosial. Tapi terpenjara persepektifnya terhadap apa yang kontra.

Oknum berkepentingan berpesta pada bias perspektif netizen di sosmed. Memprovokasi bahkan menggerakkan massa dengan perspektif homogen tidak sulit. Memupuk bias ideologis, kesukuan, dan partisan via sosmed kian mudah. Berita bohong dan manipulatif menjadi konsumsi renyah fikiran mereka. Penyangkalan pada fakta pun didasarkan pada jumlah like/komen, link info tandingan, sampai teori konspirasi. 

Alasan ketiga, tumpang tindihnya UU ITE dengan perundangan lain. UU sebagai tindakan kuratif dan preventif kejahatan via internet dinilai ambigu. UU ITE yang seharusnya menjadi 'polisi' dunia digital, berkonflik dengan banyak perundangan yang sebelumnya ada. Baik pelaku/korban yang mengalami kejahatan digital bisa mengutak-atik UU ITE yang sesuai kepentingannya.

Supremasi hukum Indonesia yang masih gamang kepentingan pun memperkeruh urusan hukum dunia maya. Contohnya kasus penistaan agama yang penuh dengan kepentingan politis. Malah bisa menjadi senjata beberapa oknum. Pengeditan file digital guna disebarkan via sosmed kian liar dengan framing politis. Semua orang bisa melakukannya demi kebutuhan ekonomis dan politis. 

Alasan keempat, euforia kebablasan dunia maya memberi ilusi preferensi. Ideologi, keyakinan, dan perspektif apapun bebas disuarakan di dunia maya. Sayangnya, dalam prosesnya terjadi banyak distorsi. Distorsi yang kadang demi mengemis klik atau visits, diaplikasi demi meraup dollar. Pun banyak juga distorsi berisi kepentingan ideologis dan politis. Tak heran persebaran paham sesat ISIS tidak hanya viral, namun personal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun