Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Sisi Lain Bukber, yang Kamu Tak Perlu Tahu

19 Mei 2018   11:09 Diperbarui: 21 Mei 2018   02:28 2732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banquet by Lukas - foto: pexels.com

Notifikasi grup chat dan sosmed sudah ramai. Beberapa mengajak bukber alias buka bersama. Menyenangkan. Apalagi bisa menjalin tali silaturahim alumni SMA dulu, teman kerja, atau sekadar sanak famili.

Tapi, kau mau lihat sisi lain bukber? Sisi yang sengaja kita pendam. Toh semua orang mengalaminya. Kita sama-sama tahu.

Buka bersama kadang adalah perang ego dan superego. Kau sembunyikan siapa dirimu di depan kawan lama. Kau berupaya tampil istimewa di depan sanak keluarga. Seolah kau sudah sukses dan mapan di depan para alumni. Atau terus pasang senyum saat paman dan bibi bersendau gurau.

Kau ingat bukan. Tahun lalu, undangan bukber teman kuliah. Di sebuah resto mewah. Yang datang banyak yang menggunakan mobil. Sedang kau? Hanya motor butut. Kau tahu gajimu tidak kuat menopang kredit bulannya. Bisa ludes seketika jika cicilan datang. Masa datang dengan motor ke bukber alumni kuliah setiap tahun? 

Seolah kamu dari dulu tidak sukses. Kerjamu stuck di posisi buruh pelumas roda perusahaan saja. Kapan bisa jadi manager? Yang kerjanya mengawasi dan memarahi. 

Belum lagi, minggu depan ada undangan keluarga besar. Masa tiap tahun datang dengan baju yang sama. Sial memang, dulu usulan seragam keluarga besar darimu, di tolak. Bukber nanti, setidaknya saya beli baju Lebaran lebih dulu. Padahal THR belum juga nampak digitnya di rekening bank. Hutang sana sama teman kantor. Ujar sang pembisik.

Baju dan segala parameter penunjangnya, setidaknya bisa baru. Nanti biar dilihat keluarga mapan. Tidak nampak kalau hutang kartu kredit 2 bulan belum dilunasi. Atau cicilan KPR yang uang bulan kemarin dipakai studi tour anak dulu. Kamu fikir, mereka juga tidak bertanya hutang. Bukankah konon bukber adalah soal makan dan bersenang-senang?

Kesederhanaan dalam bukber secara sosial kadang hanya ilusi. Kerumunan manusia dalam bukber menjadi barometer sosial-ekonomi. Seberapa mewah seorang terlihat. Semakin dipandang pula. 

Kalau cuma bawa HP Cina yang sudah buluk, sedikit teman alumni yang mau ngobrol. Paling juga hanya mereka yang juga HPnya buluk. Atau mereka yang benar-benar teman dekat. Alumni jet-set dengan HP bergambar buah Apel kroak edisi terbaru. Mereka yang datang membawa mobil besar yang menuhin gang. 

Golongan jetset fine-fine saja menegur siapa saja di bukber alumni. Mungkin kamu senang disapa mereka. Seolah kamu menjadi bagian dari mereka. Kalau kamu mau menyapa mereka, duh bukan main grafitasi gengsinya. Bukber sudah berasa reuni. Tapi malangnya, ini setiap tahun.

Kau lihat saja nanti saat bukber. Entah itu alumni sekolah, teman kantor, bahkan tetangga satu RT. Ada sekat-sekat halus yang tercipta berkat kasta pamor dan isi kantong. Saya, kamu, dan mereka merasakannya. Tapi konvensi kesunyian antara kita mengiyakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun