Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rumitnya Kesehatan Mental Para Millenials

22 April 2018   23:29 Diperbarui: 23 April 2018   14:38 2457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Health and Social Media - ilustrasi: corporatementalhealth.ca

Connectedness yang tercipta di sosmed tidak dibarengi healthy relationship. Kita tahu kita terkoneksi dengan baik dan real time dengan sosmed. Berkomunikasi saudara/teman/rekan beda benua bukan lagi soal. Semua berada dalam genggaman. Namun, apakah konektivitas ini sehat?

Pada satu sisi, kesehatan fisik para milenials "ternutrisi" dengan informasi kesehatan di sosmed. Baik itu info kesehatan palsu atau benar, semua bisa diklarifikasi jika bijak berinternet. Info dokter bisa dilihat dari deretan tweet para dokter. Konsultasi gratis pun kadang bisa dilakukan via Instagram. 

Namun di sisi lain, kesehatan yang menyangkut mental kadang terabaikan. Alih-alih mengajurkan olahraga outdoor, sebuah info di FB malah mendistorsi aktivitas itu sendiri. Sedikit-sedikit info tersebut dilihat sembari men-share foto berkeringat, map history lari 1 Km barusan, dan sibuk berbalas komen. Olahraganya 30 menit, bersosmednya 2 jam sendiri.

Atau jika sedang sedih, kita malah memposting foto kita saat tersenyum. Pada satu sisi, bisa jadi ini adalah mood booster. Namun di lain sisi, ada kecemasan yang timbul. Saat foto bahagia kita tidak ada yang like bagaimana? Jika belum ada juga yang komen, apa kurang bahagia saya? Alih-alih mood menjadi baik, malah terjadi mood swing.

Yang tercipta dari model seperti ini adalah loneliness atau kesendirian. Secara fisik seseorang didampingi banyak orang. Namun merasa sendiri dengan gadget masing-masing. Atau adagiumnya, being lonely together. Dampaknya, banyak ikatan-ikatan pertemanan ini semu alias pseudo-relationship.

Bisa jadi like atau komen adalah basa-basi semata. Kita tidak pernah tahu teman kita berkomen/me-like dengan sikon seperti apa. Berkomentar sedang sedih pun, siapa yang tahu. Dari posting tadi, yang timbul pun bukan sekadar motivasi untuk teman kita. Bisa saja kita dianggap sombong, sok pamer, atau sekadar pengen eksis. 

Pola komunikasi via sosmed pun bisa sarkas. Karena posting kita bersifat publik, maka tak ayal siapapun bisa membubuhi komentar. Baik real user atau sekadar akun anonim, semua bisa me-reply. Kadang yang terjadi, karena bersembunyi di balik identitas palsu akun anonim, komentar serampangan pun terjadi. Bagi yang ter-bully bisa celaka dua belas. Kesehatan mental bisa terimbas cukup signifikan. Karena malu postingnya menjadi olok-olok. Seorang remaja bisa saja lebih stress daripada menghadapi UN.

Selain kesendirian dan cyberbully, adiksi pada like, komen, atau heart bisa berbahaya. Rekognisi ala sosmed tidak seasli dunia nyata. Di dunia nyata kita bisa tahu dengan segera seseorang mengapresiasi kita atau tidak. Dari mulai tatapan mata sampai gesture, ada saja terselip rasa tidak suka. Namun tidak dengan pola rekognisi di sosmed. 

Agar bisa terkenal dan trending, seseorang kadang menempuh beragam cara. Dari mulai membuat konten konyol atau plagiasi bisa saja dilakukan. Semua agar akunnya viral. Lebih spesifik, kadang menunggu like/komen di posting di Facebook bisa menimbulkan kecemasan. Karena tombol like sudah serupa pengakuan ala FB. Semakin banyak, semakin ngartis seseorang. Sesampai, ada yang buat/beli ribuan akun palsu di FB demi like.

Dampaknya di dunia nyata, bisa saja mengucilkan diri. Karena stres yang timbul akibat sosmed, maka memantau sosmed 24/7 menjadi konsumsi seari-hari. Bukan saja sosmed, bahkan online gaming pun sudah menimbulkan kasus-kasus yang memprihatinkan. Mulai dari kecanduan akut sampai isu kesehatan pun timbul.

Adalah sebuah tantangan bagi kita dan para milenial memahami dunia digital. Karena mau tak mau, dunia digital berpengaruh ke semua aspek kehidupan. Mulai dari sosial sampai kesehatan sudah terdampak. Sayangnya, literasi mengenai dunia ini seolah ditinggalkan khususnya di Indonesia. Banyak yang hanyut dan tersesat di dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun