Agustus tahun lalu, gebrakan Muhadjir Effendi sudah didengungkan. Sebagai Kemendikbud pengganti Anies Baswedan, publik langsung ngeh akan kehadiran beliau. Kebijakan Full Day School (FDS) menimbulkan percikan kontroversi. Dan Juli nanti, di tahun ajaran baru FDS akan diterapkan. Walau pro-kontra terus ada baik untuk pihak sekolah, orangtua dan siswa, kebijakan ini jalan terus. Sebagian menganggap FDS sebagai 'rasa aman'. Sedang sebagian menganggapnya sebagai 'rasa takut'.
Saya sendiri sudah membahas FDS dari perspectif helicopter view. Di artikel pada bulan Agustus tahun lalu ini, pihak-pihak terkai sudah saya berikan jabaran. FDS sebagai sebuah sistem yang memang tidak baru menjadi masalah bagi sekolah yang belum terbiasa. Ada 5 pihak 4 pihak yang harus bersinergi dalam kebijakan FDS nantinya. Baik secara psikologis dan pedagogis FDS ini saya tulis. Selengkapnya bisa dilihat disini.
Kontroversi FDS tentu lebih diamplifikasi dalam fikiran orangtua. Baik pro maupun kontra pada FDS akan lebih nyata pada pihak orangtua. Pihak sekolah sebagai 'kaki tangan' Kemendikbud mau-mau-mau bukan mau-tidak-mau harus menjalankan kebijakan ini. Serupa kebijakan dualisme kurikulum saat ini yang ternyata kian pelik bagi sebagian guru. Atau gamangnya definisi karakter pada pendidikan saat ini.Â
Kekhawatiran orangtua pada anak yang terlalu di sekolah kiranya wajar. Namun juga banyak orangtua yang merasa aman jika anaknya di sekolah. Baik rasa aman atau rasa takut ini tentu membuat gundah publik akan kebijakan FDS. Jika memang belum benar-benar matang, kenapa dipaksa untuk diterapkan? Jika belum ada hasil riset holistik dampak FDS, kenapa kebijakan ini dipukul rata? Dan kenapa-kenapa lain.
Mungkin kekhwatiran nyata terlihat dari statement Wapres Jusuf Kalla. Belia menilai FDS ini mungkin siap untuk diterapkan di kota besar. Bagaimana di sekolah-sekolah di desa? Secara fasilitas dan kesiapan, sekolah di daerah akan cenderung 'kaget'. Beliau pun menyiratkan jika program ini berdampak negatif pada 50 juta siswa di Indonesia. Kabarnya program FDS ini akan dievaluasi. Sedang penerapannya sudah bulan depan? Berita selangkapnya disini.
Siswa tentunya akan menjadi lebih akrab dengan teman dan sekolah. Sesuai tujuannya, yaitu penguatan pendidikan karakter, FDS ini menjadi salah satu realiasasi Kur13 (Kurikulum 2013). Muhajir Effendi menyatakan 5 hari FDS memungkinkan anak memiliki hari libur lebih banyak di rumah. Anak akan dapat berinteraksi lebih banyak di hari Sabtu dan Minggu. Karena pendidikan juga dimulai dari rumah.
Tentunya rasa takut dan rasa aman dari FDS memiliki loophole (celah) tersendiri. Terutama concern yang timbul dalam fikiran orangtua. Berikut saya coba telaah.
Banyak berita yang memang menyorot sekolah menjadi kian tidak aman. Pernah ada berita kasus pemukulan oleh guru. Juga tak lupa kita ingat beberapa kasus pencabulan baik oleh pihak sekolah maupun teman di sekolah. Belum juga lekang sekolah yang tiba-tiba rubuh. Atau berita distopis lain yang memang menjadi bad news is good news bagi media.
Tentu banyak problematika diatas tidak boleh dipukul rata terjadi di seluruh sekolah di Indonesia. Namun kini kita patur pertanyakan pula apakah isu-isu diatas tidak akan terjadi di sekolah anak kita? Semoga saja probablitasnya nol alias nihil.Â
Kedua, wajarkah rasa takut atau khawatir pada FDS? Kekhawatiran seperti kebosanan, tidak teratur pola makan, atau loophole rasa aman diatas bisa muncul. Namun ada rasa takut lain yang mungkin muncul. Yang pertama adalah adakah beban biaya untuk sekolah untuk FDS ini? Bukan rahasia jika sekolah akan memunculkan biaya 'tidak terduga'. Walau kadang ada rapat membahas, misalnya, membuat makan siang untuk siswa tidak semua orangtua akan setuju.