Mohon tunggu...
gintanghaisani
gintanghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Nature

Di Balik Tren Kekinian: Jejak Fast Fashion Pada Lingkungan

5 Oktober 2025   13:11 Diperbarui: 5 Oktober 2025   13:11 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fenomena Fast Fashion

Industri fashion saat ini menjadi salah satu sektor yang berkembang sangat pesat. Munculnya fenomena fast fashion telah mengubah pola konsumsi pakaian banyak masyarakat. Model bisnis yang menekankan produksi cepat dan tren yang berganti dengan cepat telah menciptakan budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat, khususnya generasi muda, semakin terdorong untuk membeli pakaian dengan gaya terbaru agar selalu tampil kekinian. 

Kehadiran merek-merek global seperti H&M, Zara, dan Shein, ditambah dengan maraknya tren belanja online, menyebabkan siklus produksi dan konsumsi pakaian bergerak semakin cepat. Popularitas fast fashion sendiri tidak terlepas dari kelebihannya yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan konsumen modern secara praktis. Konsep ready-to-wear yang menjadi dasar fast fashion menjadikan pakaian lebih praktis dan langsung bisa digunakan tanpa perlu penyesuaian khusus. Produk ready-to-wear ini juga mudah didapatkan serta diproduksi dalam skala besar, sehingga memungkinkan hadirnya berbagai koleksi baru yang terus mengalir ke pasar. Kondisi ini otomatis mendorong produksi yang masif serta penjualan dengan cepat kepada masyarakat yang terobsesi dengan tren terbaru.

Dampak Lingkungan yang Terabaikan

Di balik popularitas dan keuntungan ekonominya, industri fast fashion menyimpan berbagai permasalahan serius terhadap lingkungan. Model bisnis ini telah mendorong krisis lingkungan, menjadikannya salah satu sektor paling polutif di dunia.

Konsumsi Air yang Besar

Proses produksi tekstil membutuhkan penggunaan sumber daya alam dalam skala besar, terutama air. Produksi tekstil, khususnya kapas, membutuhkan jumlah air yang sangat besar dalam proses produksinya. Menurut data dari PDAM, hanya untuk memproduksi satu kaos katun dibutuhkan sekitar 2.700 liter air. Jumlah ini jelas memberikan tekanan besar terhadap ketersediaan sumber daya air dan mengancam keberlangsungan ekosistem perairan.

Limbah Kimia Berbahaya

Selain konsumsi air, proses produksi dan pewarnaan tekstil juga menghasilkan limbah kimia yang berbahaya. Di tahap pewarnaan kain, limbah cair yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti pewarna sintetis dan logam berat kerap langsung dibuang ke sungai-sungai terdekat tanpa pengolahan yang memadai. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan turunnya kualitas air dan merusak ekosistem. Air sungai yang terkontaminasi tidak hanya membahayakan organisme perairan, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia yang memanfaatkan air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.

Penyebaran Mikroplastik

Fast fashion juga menimbulkan dampak buruk melalui pencemaran mikroplastik yang berasal dari serat sintetis. Banyak dari pakaian modern diproduksi menggunakan bahan polyester, nylon, atau akrilik yang merupakan turunan plastik. Setiap kali dicuci, pakaian berbahan serat sintetis seperti poliester ini akan melepaskan mikroplastik ke lingkungan, yang kemudian mengalir ke saluran air dan membahayakan kesehatan manusia. Pada akhirnya, mikroplastik ini kemudian berakhir di laut, mencemari ekosistem perairan, dan masuk ke rantai makanan melalui ikan dan biota laut lainnya. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan manusia, karena mikroplastik berpotensi masuk ke tubuh melalui konsumsi hewan laut.

Timbunan Limbah Tekstil

Dampak lain adalah limbah tekstil padat yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Pola konsumsi fast fashion yang mendorong konsumen untuk membeli pakaian baru seiring bergantinya koleksi dan tren, membuat usia pakaian semakin singkat atau bahkan hanya digunakan beberapa kali dan pada akhirnya cenderung dibuang begitu saja. Sayangnya, sebagian besar pakaian ini berbahan sintetis yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Akibatnya, timbunan sampah tekstil terus bertambah setiap tahunnya. Menurut data UN Environment Programme, sekitar 92 juta ton pakaian bekas dibuang setiap tahun. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 134 juta ton pada tahun 2030. Kondisi ini jelas menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan lingkungan hidup kita.

Emisi Karbon

Rantai pasok global industri fast fashion juga turut menyebabkan peningkatan signifikan terhadap emisi karbon. Distribusi pakaian dari negara produsen ke negara konsumen melibatkan transportasi lintas benua, mulai dari kapal kargo hingga pesawat, yang mana proses ini menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar. Data internasional bahkan menyebutkan bahwa industri fashion menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa fast fashion juga berkontribusi dalam memperburuk krisis iklim global.

Fast Fashion dan Komunikasi Risiko

Dengan berbagai dampak negatifnya terhadap lingkungan, fast fashion bukan lagi sekadar isu gaya hidup atau tren konsumsi, melainkan sudah menjadi sebuah isu lingkungan yang harus kita perhatikan. Kondisi ini dapat dilihat sebagai contoh dari kegagalan komunikasi risiko. Konsep komunikasi risiko atau risk communication adalah proses penyampaian informasi mengenai risiko potensial kepada publik, dengan tujuan agar masyarakat dapat memahami, menyadari, serta mengambil langkah pencegahan terkait bahaya yang dihadapi. Konsep ini tidak hanya tentang penyampaian informasi, tetapi juga menyangkut bagaimana pesan atau risiko dimaknai dan ditindaklanjuti oleh berbagai pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah, industri, media, hingga konsumen.

Dalam konsep risk communication, persepsi publik terhadap risiko akan suatu hal seringkali berbeda dengan tingkat risiko yang sebenarnya. Dalam konteks fast fashion, risiko-risiko utama seperti, penggunaan air yang berlebihan, pencemaran limbah kimia, pelepasan mikroplastik, penumpukan limbah tekstil, dan emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim, kerap tidak langsung terlihat secara kasat mata dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari konsumen. Dengan ini, konsumen tidak menyadari kerugian instan yang terjadi setelah membeli pakaian, sehingga risiko lingkungan dipandang abstrak. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara realitas kerusakan lingkungan dengan kesadaran masyarakat.

Isu fast fashion juga melibatkan banyak aktor yang mengkomunikasikan risiko dengan cara dan kepentingan yang berbeda. Komunikasi tentang limbah fast fashion terfragmentasi di antara berbagai pemangku kepentingan. PBB, lembaga pemerintah, ataupun organisasi non-pemerintah (NGO), cenderung menyoroti data tentang pencemaran air, limbah tekstil, emisi karbon, dan berbagai dampak negatif lain terhadap lingkungan.

Media massa, di sisi lain, memegang peran penting dalam membingkai isu fast fashion. Sebagian media mengangkatnya sebagai tren gaya hidup yang lekat dengan gaya anak muda yang semakin memperkuat sisi konsumtif dari industri ini. Di sisi lain, media juga menyoroti fast fashion sebagai masalah lingkungan global dengan menampilkan dampak-dampak negatifnya terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan  teori Social Amplification of Risk Framework (SARF) yang menjelaskan bahwa suatu risiko dapat dipersepsikan lebih besar atau lebih kecil oleh masyarakat, tergantung pada bagaimana informasi tersebut disebarluaskan oleh media, lembaga pemerintah, atau kelompok sosial. Akibatnya, persepsi publik menjadi terbagi-bagi, dimana di satu sisi merasa terbawa oleh tren busana kekinian, namun di sisi lain diingatkan tentang kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Mengapa Kesadaran Tidak Selaras dengan Tindakan?

Meski kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif fast fashion terhadap lingkungan telah meningkat seiring dengan kampanye dan pemberitaan media, peningkatan kesadaran ini belum berbanding lurus dengan perubahan perilaku konsumen secara signifikan. Banyak orang mungkin sudah memahami bahwa industri fast fashion berkontribusi buruk terhadap lingkungan, tetapi dalam praktiknya, kemudahan akses dan tekanan gaya hidup masih seringkali menjadi pertimbangan utama saat berbelanja. 

Hal ini mencerminkan tantangan komunikasi risiko, yaitu bahwa menyadarkan publik saja tidak cukup tanpa adanya rasa urgensi dan tanggung jawab personal. Pengetahuan mengenai suatu risiko belum tentu mendorong seseorang untuk mengambil tindakan. Informasi tentang bahaya lingkungan kerap tersampaikan sebagai berita yang terfragmentasi atau terlalu teknis, sehingga gagal membangkitkan kepedulian mendalam. Akibatnya, meski publik mengetahui risikonya, banyak yang belum terdorong untuk mengubah kebiasaan konsumtif mereka.

Rekomendasi Strategi Komunikasi

Situasi ini menunjukkan bahwa komunikasi risiko fast fashion tidak cukup hanya menyajikan fakta, tetapi harus mampu membangun keterhubungan personal, menyentuh emosi, sekaligus memberi ruang bagi konsumen untuk bertindak. Dengan mempertimbangkan dinamika tersebut, diperlukan pendekatan komunikasi yang lebih tepat agar isu ini tidak lagi termakan oleh narasi konsumtif. Hal ini membuka ruang bagi serangkaian strategi yang dapat memperkuat efektivitas komunikasi risiko dalam konteks fast fashion. Beberapa strategi yang dapat diterapkan, diantaranya:

Personalisasi Pesan Risiko

Salah satu tantangan utama komunikasi risiko dalam isu fast fashion adalah kesenjangan persepsi antara data global dengan pengalaman individu sehari-hari. Akibatnya, pesan risiko yang disampaikan sering kali terasa jauh dan gagal menciptakan rasa urgensi atau keterhubungan emosional yang diperlukan untuk memicu perubahan perilaku. Oleh karena itu, pesan risiko perlu dipersonalisasi agar mudah dicerna dan dipahami. Misalnya, alih-alih menyebutkan bahwa "92 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun," kampanye bisa menyatakan bahwa "rata-rata setiap orang membuang 25 kg pakaian per tahun." Angka ini lebih mudah dicerna dan terasa lebih dekat dan nyata, sehingga menempatkan tanggung jawab dan dampak pada tingkat individu.

Membangun Relevansi Personal

Lebih lanjut, personalisasi dapat diperkuat dengan mengaitkan dampak fast fashion dengan nilai-nilai atau kepentingan pribadi yang sudah melekat bagi kelompok tertentu. Misalnya, bagi kelompok yang sangat memperhatikan kesehatan, pesan dapat difokuskan pada bagaimana limbah mikroplastik dari pakaian sintetis dapat masuk ke dalam rantai makanan dan mencemari air minum. Sementara itu, bagi mereka yang peduli dengan isu keadilan sosial, narasi dapat difokuskan pada kondisi kerja para buruh garmen yang bekerja di bawah tekanan produksi massal. Dengan mengaitkan risiko global menjadi konsekuensi yang personal dan relevan, komunikasi risiko tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membangun rasa urgensi dan akhirnya terdorong untuk terlibat dalam solusi.

Narasi yang Menggerakkan, Bukan Menghakimi 

Banyak kampanye lingkungan gagal karena terlalu menekankan rasa bersalah, sehingga konsumen merasa dihakimi dan akhirnya memilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Ketika pesan-pesan yang disampaikan seolah menyiratkan bahwa mereka adalah bagian dari masalah, respons psikologis alami manusia cenderung defensif. Dengan ini, komunikasi risiko fast fashion perlu dinarasi ulang. Fokusnya bukan pada "masalah apa yang kita sebabkan," melainkan pada "apa yang bisa kita wujudkan bersama." kampanye yang efektif sebaiknya menawarkan langkah-langkah praktis dan mudah diadopsi yang membuat konsumen merasa mampu dan termotivasi untuk berpartisipasi. Salah satu contoh kampanye yang pernah dilakukan dengan pendekatan ini adalah "30 Wears Challenge" yang mendorong konsumen untuk memakai pakaian setidaknya 30 kali sebelum membeli yang baru. Dengan pendekatan ini, konsumen merasa terlibat dalam perubahan, bukan hanya objek dari masalah. Kampanye semacam ini juga mengubah konsumsi fashion menjadi sebuah permainan atau tantangan pribadi yang menyenangkan.

Transparansi Informasi Berbasis Teknologi

Transparansi dalam rantai pasok fast fashion seringkali minim, sehingga konsumen tidak tahu dampak sebenarnya dari pakaian yang mereka kenakan. Konsumen pada umumnya hanya melihat produk akhir yang sudah rapi dan tersusun di rak toko, tanpa mengetahui proses panjang dibalik pembuatannya. Di sinilah teknologi hadir sebagai solusi potensial untuk menjembatani kesenjangan informasi ini. Salah satunya adalah inovasi seperti blockchain yang memungkinkan konsumen melacak asal-usul sebuah produk secara terbuka, mulai dari asal bahan, jumlah air yang digunakan, dan sebagainya. Penerapan yang dapat diterapkan, misalnya label pakaian dengan QR code yang dapat di scan untuk melihat jejak karbon, penggunaan air, dan dampak lingkungan dari produk tersebut. Dengan informasi yang lebih terbuka dan transparan, konsumen dapat membuat keputusan yang lebih bijak, sementara perusahaan didorong untuk meningkatkan akuntabilitas. 

Masa Depan Fashion: Gaya yang Tidak Merusak Bumi

Fast fashion bukan lagi sekadar urusan tren dan gaya hidup, melainkan juga menjadi persoalan lingkungan yang mendesak. Setiap diskon besar-besaran, setiap koleksi baru yang dirilis, membawa dampak nyata berupa limbah tekstil, pencemaran air, emisi karbon, hingga tumpukan pakaian yang tidak terpakai. Namun, sangat disayangkan risiko serius ini seringkali terabaikan oleh masyarakat.

Kesadaran akan ancaman fast fashion bagi lingkungan harus dimulai dari kita sebagai konsumen. Langkah kecil seperti membeli pakaian lebih bijak, merawat pakaian agar lebih tahan lama, hingga mendukung brand yang benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan, dapat memberi perubahan yang sangat berarti. Meski dampak industri fashion terasa global, solusinya seringkali berawal dari tindakan sehari-hari.

Jika kita terus menutup mata, industri akan berjalan seperti biasa---produksi masif tanpa henti, membuang limbah berbahaya tanpa henti, dan merusak bumi tanpa henti. Tetapi jika kita mampu menolak normalisasi kerusakan lingkungan ini, maka fast fashion dapat menjadi tantangan yang bisa kita ubah bersama.  

Masa depan bumi yang kita tinggali ada di tangan kita. Pada akhirnya, fast fashion bukan hanya tentang pakaian yang kita kenakan, melainkan tentang jejak yang kita tinggalkan untuk bumi dan generasi berikutnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun