Pagi itu, di sebuah sudut Kuala Lumpur, Suara harmoni bambu Indonesia bergema. Beberapa anak-anak migran Indonesia duduk berbaris rapi, menggenggam angklung dengan penuh semangat. Begitu nada-nada dimainkan, seakan angklung menyapa kota besar ini, membawa kehangatan kampung halaman ke tengah hiruk-pikuk ibu kota Malaysia. Pertunjukan sederhana itu menjadi momen istimewa. Di hadapan mereka hadir seorang tamu penting yaitu istri Wakil Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia. Senyumnya merekah, matanya berkaca-kaca, ketika alunan angklung memenuhi ruangan. Bagi sang tamu, angklung bukan sekadar musik, melainkan pengingat bahwa jalinan budaya Indonesia tetap hidup bahkan di tanah perantauan.
Angklung merupakan alat musik bambu tradisional Sunda, sejak lama dikenal sebagai simbol kebersamaan. Tak satu pun angklung bisa menghasilkan lagu indah seorang diri. Baru ketika dimainkan bersama, harmoni itu lahir. Hal ini begitu relevan bagi anak-anak migran yang hidup jauh dari tanah air. Sebagai kelompok yang kerap terkendala akses, pendidikan formal, mereka menemukan ruang belajar alternatif melalui seni. Angklung menjadi media untuk belajar disiplin, melatih kekompakan, sekaligus menjaga identitas sebagai anak bangsa. Pertunjukan di hadapan istri Wakil KBRI menjadi bukti bahwa meski jauh dari Indonesia, budaya tetap menjadi perekat kebangsaan.
Di balik panggung kecil itu, hadir mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional. Mereka bukan hanya mendampingi, tetapi juga membimbing, Â dan memberi semangat kepada anak-anak migran. Kehadiran mahasiswa menjadi bukti bahwa pengabdian bukan sekadar mengajar pelajaran akademik, melainkan juga menyalakan ruang ekspresi budaya. Lebih dari itu, KKN di luar negeri memberi dimensi baru bagi mahasiswa. Melalui seni seperti angklung, mereka memperlihatkan wajah Indonesia yang ramah, kreatif, dan penuh kebersamaan. Inilah diplomasi budaya yang sederhana tetapi bermakna.
Pertunjukan angklung anak-anak migran bukan hanya hiburan, tetapi juga diplomasi budaya. Di tengah derasnya arus globalisasi, musik tradisional ini justru menjadi pengingat bahwa identitas Indonesia tetap hidup. Kehadiran istri Wakil KBRI memperkuat simbol bahwa negara hadir, melihat, dan memberi dukungan. Diplomasi budaya semacam ini punya arti besar. Angklung yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia kini dimainkan oleh anak-anak yang sehari-hari masih bergulat dengan keterbatasan. Dari bambu sederhana, lahirlah harmoni yang menghubungkan komunitas migran, mahasiswa, dan perwakilan negara.
Pertunjukan itu mungkin hanya berlangsung beberapa menit, namun pesan yang terkandung melampaui waktu. Anak-anak migran di Malaysia membutuhkan perhatian lebih akses pendidikan, ruang berekspresi, dan dukungan dari banyak pihak. Seni dan pendidikan seharusnya berjalan beriringan dengan budaya, mereka kehilangan akar tanpa pendidikan, mereka kehilangan masa depan.
Bagi mahasiswa KKN, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga. Mereka belajar bahwa pengabdian tak selalu berupa teori atau materi pelajaran, melainkan juga menjaga identitas bangsa. Dari bambu yang digetarkan bersama, lahirlah harmoni yang mengajarkan kebersamaan, kerja sama, dan rasa memiliki. Dari Kuala Lumpur, angklung telah menyapa. Ia berbicara tentang harapan, perjuangan, dan kebanggaan sebagai orang Indonesia. Semoga harmoni itu terus menggema hingga tanah air, mengingatkan kita semua bahwa anak-anak migran adalah bagian dari bangsa, yang pantas mendapat perhatian, kasih sayang, dan masa depan yang layak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI