"Nay, kok lo jahat banget sih nggak mau bantu sodara sendiri?"
"Ya habisnya gimana, Bang? Saya memang nggak ada uang sebanyak itu. Apalagi Bang Gian minta uangnya saat ini juga."
"Biar gue tebak. Bentar lagi lo mau ke luar negeri, kan? Traveling dan foya-foya di negara orang tanpa mikir keadaan gue sekeluarga."
Oh, tidak. Bahasan ini sudah terlalu jauh dari yang seharusnya. Di usianya yang sudah seperempat abad, seharusnya dia bisa bersikap lebih dewasa, bukan seperti ini.
"Kenapa sih dari dulu hidup lo itu enak? Padahal lo cuma anak pelakor, dan Ayah adalah korban kebusukkan Ibu lo!"
Saat itu juga, lagi-lagi, pikiranku melesat ke celah waktu yang lain.
***
"Kenapa hidup Nayla bisa lebih enak, sih? Ayah itu nggak adil!"
Aku tidak bisa melupakan peristiwa itu. Di usiaku yang kesepuluh, ketika terpaksa menginap di rumah kedua Ayah --atau mungkin rumah pertamanya, aku tidak sengaja mendengar percakapan itu. Ada Ayah di sana dan anak pertamanya yang sedang berselisih paham.
Terlalu dini untuk mengetahui apa maksud percakapan mereka di usiaku yang belum mengerti apa-apa. Tapi yang jelas, saat itu aku sadar bahwa keluarga Ayah yang lain ini tidak menyukaiku. Terbukti ketika Rachel yang saat itu berusia tujuh, sama sekali tidak mau mengajakku berbicara. Padahal, aku sangat senang ketika tahu punya seorang adik.
Begitu pula dengan Tante Yulia, istri sah Ayah selain Ibu. Dia memperlakukanku bukan seperti anaknya --ya aku tahu memang bukan anaknya, namun ini benar-benar asing. Tatapan dan sikapnya yang dingin itu membuatku tidak betah berlama-lama tinggal di sana.
Beberapa tahun kemudian ketika aku kelas 2 SMP, aku menanyakan satu hal penting ke Ibu.
"Kenapa Ayah harus punya dua keluarga?"
"Ceritanya panjang, Nay," jawab Ibu lembut sambil membelai rambutku.