Indonesia telah lama berada dalam pusaran kompleks sistem moneter global.
Sejak awal reformasi ekonomi pasca-Orde Baru, sistem nilai tukar menjadi salah satu indikator utama yang diperhatikan oleh publik, pelaku usaha, hingga investor asing. Dalam teori ekonomi politik internasional, nilai tukar bukan hanya urusan teknis moneter, melainkan juga refleksi kekuatan, stabilitas politik, dan kepercayaan global. Oleh karena itu, saat pemerintah Indonesia terlihat lambat dalam merespons perubahan nilai tukar---yang disebut sistem kurs terlambat atau delayed exchange rate adjustment---maka bukan hanya ekonomi yang terdampak, tetapi juga kredibilitas negara.
Sistem kurs terlambat merujuk pada kondisi di mana nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing tidak langsung disesuaikan dengan tekanan pasar. Pemerintah atau bank sentral cenderung menahan perubahan kurs demi menjaga kestabilan jangka pendek, atau karena alasan politik dan sosial. Sekilas tampak stabil, tapi pendekatan ini menyimpan risiko besar. Ketika tekanan pasar sudah tak terbendung, pelepasan kurs secara mendadak dapat menimbulkan guncangan yang lebih besar.
Belajar dari Krisis 1997--1998
Salah satu momen paling mencolok dari kegagalan sistem kurs terlambat terjadi pada krisis moneter 1997--1998. Saat itu, pemerintah terlalu lama mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di kisaran Rp2.400--2.600/USD, padahal tekanan pasar sudah menunjukkan bahwa nilai tersebut tidak lagi realistis.
Keengganan menyesuaikan kurs secara bertahap membuat rupiah "terjebak" dalam ilusi stabilitas. Ketika akhirnya dilepas pada Agustus 1997, nilai tukar langsung merosot tajam hingga menyentuh lebih dari Rp10.000/USD. Efek domino pun tak terhindarkan: inflasi melonjak, utang luar negeri membengkak, dan kepercayaan investor runtuh.
Kenapa Kurs Sering Ditahan?
Dalam konteks ekonomi politik, penundaan penyesuaian kurs tidak hanya berasal dari pertimbangan ekonomi. Ada tekanan politik, sosial, bahkan elektoral yang kerap menjadi dasar. Pemerintah khawatir bahwa depresiasi mata uang akan memicu inflasi atau keresahan sosial. Maka dari itu, kurs sering "dipertahankan" seolah-olah stabil, padahal tidak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya.
Pasar, tentu saja, tidak bisa dibohongi dalam jangka panjang. Ketika kebijakan tidak sesuai realitas---misalnya saat defisit transaksi berjalan melebar atau cadangan devisa menipis---pasar akan bereaksi. Dan kurs terlambat justru mengundang spekulasi hingga kepanikan.
Kurs dalam Pandangan Ekonomi Politik Internasional
Dalam mata kuliah Ekonomi Politik Internasional, dipelajari bahwa sistem nilai tukar adalah bagian dari struktur kekuasaan global. Negara dengan mata uang kuat seperti AS atau Uni Eropa bisa dengan mudah memengaruhi kurs global. Sebaliknya, negara berkembang seperti Indonesia seringkali hanya bisa bereaksi terhadap dinamika tersebut.