Mohon tunggu...
Gilang abitio
Gilang abitio Mohon Tunggu... Mahasiswa yang sedang menempuh program sarjana ilmu komunikasi S1

saya seseorang yang sangat tertarik pada bidang jurnalistik terutama pada pos berita dan tulisan budaya,hobi saya berkegiatan dialam dan kegiatan budaya terutama pada pelestarian tosan aji.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meluruskan Salah Paham Tentang Pamor Buntel Mayat

30 Juli 2025   19:43 Diperbarui: 30 Juli 2025   19:43 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: keris sempaner dengan pamor buntel mayat  (dokumentasi pribadi)

Pamor keris bukan sekadar motif visual. Ia adalah bagian dari seni metalurgi dan budaya simbolik yang berkembang ratusan tahun dalam masyarakat Jawa. Namun, tidak semua pamor dipahami dengan benar oleh generasi modern. Salah satu yang kerap disalahartikan adalah pamor buntel mayat, yang sering disebut juga buntel mayit. Banyak orang langsung mengaitkan nama ini dengan sesuatu yang menyeramkan, mistis, atau bahkan negatif. Sayangnya, pemahaman seperti ini justru menjauhkan kita dari nilai logis dan historis yang terkandung di dalamnya.

Masalah utama berasal dari pemaknaan kata "mayat". Dalam bahasa Indonesia modern, "mayat" secara umum dipahami sebagai jenazah, atau tubuh orang yang telah meninggal dunia. Namun, dalam konteks budaya Jawa lama, kata ini tidak serta merta merujuk pada jenazah. Kata "mayat" dalam bahasa Jawa kuno lebih mendekati arti "miring", condong, atau tidak lurus." Jadi, ketika istilah buntel mayat digunakan, makna aslinya adalah "membungkus sesuatu yang miring"---bukan membungkus jenazah.

Dalam dunia keris, istilah ini menggambarkan bentuk pamor yang mengelilingi atau membungkus bagian inti bilah. Secara visual, pamor ini terlihat seperti garis-garis spiral atau lapisan yang melingkar, mengisyaratkan sebuah perlindungan atau penjagaan. Dengan memahami arti mayat sebagai "miring", maka pamor buntel mayat secara filosofis dapat diartikan sebagai usaha untuk menjaga atau membungkus bagian yang rawan menyimpang. Dalam bahasa yang lebih sederhana, pamor ini melambangkan penjagaan diri dari pengaruh buruk atau penyimpangan moral dan pikiran.

Sayangnya, karena ketidaktahuan terhadap perubahan makna bahasa, banyak orang kini mengaitkan pamor ini dengan sesuatu yang menyeramkan. Sebagian bahkan menganggap keris berpamor buntel mayat sebagai pusaka yang "berisi" atau "berbahaya", padahal anggapan tersebut tidak didukung oleh bukti maupun logika budaya yang kuat. Justru sebaliknya, pamor ini sering dianggap baik dan berguna untuk menjaga stabilitas batin pemiliknya.

Secara teknis, pembuatan pamor buntel mayat memerlukan keahlian tinggi dalam menempa logam berpola melingkar simetris. Ini bukan pekerjaan sembarangan dan menunjukkan bahwa pamor ini adalah hasil karya logis dari teknik pattern welding yang digunakan para empu. Tidak ada elemen magis dalam proses ini---semuanya berbasis pada keterampilan metalurgi dan pemahaman bentuk.

Melalui pemahaman bahasa yang lebih tepat, kita juga bisa menghindari penilaian yang salah terhadap pusaka. Keris bukan benda gaib; ia adalah benda budaya. Pemaknaan terhadap pamor-pamornya pun perlu ditarik ke arah interpretasi simbolik yang rasional, bukan asumsi mistis yang tanpa dasar. Kita tidak sedang hidup di masa takhayul. Menilai keris dengan cara berpikir yang proporsional adalah bentuk penghargaan yang layak terhadap kebudayaan leluhur.

Dengan meluruskan makna pamor buntel mayat, kita sekaligus mendorong masyarakat untuk lebih kritis dan terbuka terhadap konteks sejarah dan bahasa. Kata-kata yang digunakan ratusan tahun lalu seringkali mengalami pergeseran makna, dan tugas kita adalah membaca ulang simbol-simbol budaya itu dengan perspektif yang jernih. Menyematkan makna horor atau klenik hanya karena satu kata terdengar seram adalah contoh kekeliruan berpikir yang patut dikoreksi.

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun