Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Batik itu Teknik, Bukan Sekadar Motif

2 Oktober 2015   21:11 Diperbarui: 2 Oktober 2015   21:44 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Membatik (Sumber gambar: www.unesco.org)"][/caption]

Tanggal 2 Oktober merupakan Hari Batik Nasional. Tanggal 2 Oktober dipilih karena merupakan tanggal ditetapkannya batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO; tepatnya pada 2 Oktober 2009. [wikipedia].

Hari Batik Nasional umumnya diperingati masyarakat dengan cara memakai baju bermotif etnik. Berbagai media sosial juga diramaikan dengan ucapan dan harapan atas kekayaan budaya bangsa yang sangat membanggakan tersebut. Hanya saja berdasarkan sedikit pengamatan tentang komentar di media sosial, saya menengarai adanya kerancuan pemahaman istilah batik.

Umumnya batik dimaknai sebagai sekadar motif kain. Oleh karenanya sering direpresentasikan hanya dengan gambar atau fotonya saja (dua dimensi). Ada batik truntum, batik megamendung, batik Solo, batik Pekalongan, batik Aceh, batik Toraja, hingga batik Papua. Tak mengherankan jika kain bermotif etnik yang diimpor dari Tiongkok pun disebut batik.

Padahal, mengacu pada penetapan oleh UNESCO, yang disebut batik bukan sekadar motif kain, melainkan meliputi suatu proses seni budaya lengkap dengan filosofinya. Batik merupakan teknik pengolahan tekstil dengan metode merintang warna (resist dyeing). Awalnya pola disain dibuat pada kain. Selanjutnya pada kain berpola itu dilapiskan bahan perintang warna yang terbuat dari semacam lilin atau malam (wax) yang cair dan panas. Setelah kering, kain dicelup/diwarnai dalam cairan pewarna (dye) lalu kembali dikeringkan. Bagian kain yang berlapis malam tidak akan tertembus cairan warna. Selanjutnya lapisan malam dilarutkan dengan cara merendam kain dalam air panas. Jika diperlukan lebih dari warna, maka proses siklus melapisi dengan malam – mengeringkan – mencelup – mengeringkan – merendam dalam air panas pun dilakukan lebih dari satu kali. Kain batik yang dihasilkan dengan proses semacam ini disebut batik tulis. Hal ini untuk membedakannya dengan pewarnaan atau penggambaran motif kain dengan cara cap, sablon, maupun cetak (printing).

Teknik pengolahan tekstil dengan metode merintang warna tidak hanya ada di Indonesia. Teknik semacam itu sudah dipraktikkan di berbagai belahan dunia sejak ratusan tahun lalu. Adapun batik ala Indonesia (Jawa) yang dipilih dan diakui oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity, pastinya terkait dengan penilaian kelengkapan komponen seni, budaya, serta filosofisnya yang unik.

Sekali lagi, secara internasional, batik mengacu pada proses pengolahan tekstil dengan metode merintang warna. Jadi tak perlu kita marah jika ada negara lain yang mengklaim batik sebagai bagian kebudayaan mereka. Karena pastinya berbeda dengan batik kita. Kecuali istilah batik bisa kita patenkan sehingga pihak lain tak berhak menggunakan istilah batik untuk teknik pengolahan tekstil dengan metode resist dying dalam budaya mereka.

Jadi, apa beda kain batik dan kain bermotif etnik? Apa beda baju batik dan baju bermotif etnik? Bikin bingung saja, yaa? Memang. Soalnya kalau istilah batik dikoreksi betulan dan tak lagi sebatas kain bermotif etnik Indonesia, bisa muncul istilah KW- juga.

Pembuatan batik-yang benar-benar batik (maksudnya: batik tulis) memerlukan waktu yang tak bisa dianggap sebentar. Prosesnya tak bisa direduksi. Karena tetap harus melalui perancangan, harus dilalui malam sebelum dicelup, harus menunggu hingga malam larut dulu sebelum akhirnya dikeringkan dengan bantuan prajurit Batara Bayu (maksudnya: angin). Makanya harga batik sangat mahal, melebihi nilai fungsinya sebagai sekadar pakaian karena ada seni dan filosofi tinggi yang terkandung di dalamnya.

Filosofi batik bisa nyata diterapkan jika motif yang dibuat merupakan motif-motif pakem, semacam truntum, kawung, dan parang yang berkembang di lingkungan keraton ataupun mega mendung yang bergaya pesisiran. Penuh filosofi, makanya tak bisa dipakai sembarangan, harus sesuai "peruntukan".

Untuk kepentingan praktis dan bisnis memang kadang idealisme dikorbankan. Biar saja orang tak bisa membedakan kain bermotif etnik dengan batik yang direkomendasikan oleh UNESCO. Kalau buat selfi toh tak ada bedanya. Enjoy saja. Kalau ikut-ikutan idealis bisa cepat kering kantong kita. Untuk amannya, mari berbatik etnik saja. Yang penting bisa ikut bangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun