Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solusi Adat "Bang-bang Tut" dalam Perspektif Anak TK

16 Juni 2019   10:04 Diperbarui: 16 Juni 2019   10:10 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PublicDomainPictures.net

Waktu sekolah TK, saat mendengarkan cerita Bu Guru, tiba-tiba seorang teman berteriak sambil menutup hidungnya, "mambu entut!" (bau kentut). Tiba-tiba kelas jadi tambah gaduh (karena tadinya juga sudah gaduh, biasa). 

Teman saya si pemerhati kentut itu terlihat mengedarkan pandangan ke semua teman lain dengan sorot mata galak, masih sambi menutup hidung, tapi mulutnya terbuka. Ironis memang, ia terkesan tidak sudi mencium bau busuk aroma kentut di sekitarnya, tetapi justru mengisapnya pakai mulut.

Biasanya, saat bermain bersama, penentuan pelaku kentut invisible semacam itu akan diputuskan lewat ritual adat dengan lagu "Ndhang-Ndhang Tut" atau kalau versi lain menyebutnya Bang-Bang Tut.

Ndhang-ndhang tut cendhela wowo
Sapa wani ngentut ditembak raja tuwo
Tuwo-tuwo kaji bengi-bengi mbukak roti
Roti-roti gandhos, sing mbukak wetenge mbledhoz

Satu orang (biasanya yang menuduh orang lain kentut) menyanyikannya sambil menunjuk teman dan dirinya sendiri secara bergiliran. Satu tunjukan setiap satu, dua, atau tiga suku kata dalam lagu, pokoknya seharmonisnya. 

Pelaku kentut definitif diputuskan berdasarkan posisi tunjukan terakhir. Yang kebagian kata "mbledhoz" itulah pelakunya. Tak valid memang. Dan juga tidak adil. 

Karena si penyanyi hampir pasti tidak akan pernah jadi tersangka. Ia bebas merekayasa ritme lagunya agar kata mbledhoz tidak jatuh padanya. Licik. Tapi itulah undang-undang permainannya.

Namun, dalam suasana belajar di kelas, solusi berupa ritual adat "Ndhang-Ndhang Tut" semacam itu tentu saja tidak dapat dilaksanakan. Untunglah Bu Guru kami menengahi dengan bijak. Beliau hanya berkata," Pitik babon, yen ngendhog mesthi petok-petok". (Artinya: Ayam betina kalau bertelur pasti berbunyi petok-petok /berkotek).

Mendengar itu, kami pun tertawa terbahak-bahak. Meski masih kecil, soal pasemon kami sudah paham. Teman saya si aktivis kentut tadi terlihat malu, mukanya memerah sambil cengar-cengir. 

Dia terindikasi petok-petok, berarti dia pula yang ngendhog alias bertelur, meski jenis kelaminnya bukan perempuan. Kapokmu kapan, batin saya. Bisa jadi prediksi Bu Guru benar alias valid. Bukan cuma 62%, tetapi 100%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun