Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bayam

18 Mei 2019   11:59 Diperbarui: 18 Mei 2019   12:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
publicdomainpictures.net.

Pagi itu Mbah Karjo panen bayam. Hampir sedesa kebagian. Ada yang seikat, ada yang dua ikat. Di awal pembagian, para tetangga dapat bagian dua ikat, tetapi yang belakangan terpaksa hanya satu ikat. 

Bukan karena Mbah Karjo pilih kasih membagi panenan, tapi karena tali pengikatnya yang berupa karet gelang terbatas jumlahnya. Jadi, akhirnya yang belakangan dapat satu ikat, tetapi porsinya kurang lebih sama dengan dua ikat porsi mula-mula.

Mbokde Ponem penggemar bayam. Spontan senang dengan adanya bayam hasil pembagian. Tak perlu beli dan keluar uang, bayam berdaun hijau segar datang diantarkan. Hanya saja, Mbokde Ponem masih penasaran. 

Kenapa ia tak tahu kalau Mbah Karjo bertanam bayam. Kalau tahu, kan bisa sejak dulu jadi langganan; maksudnya langganan minta; bukan beli. Ah, yang penting sekarang sudah tahu, ke depannya bisa sering-sering main ke situ. Sambil tersenyum mulai dimasaklah sayur itu sebagai hidangan nanti siang. Akan dibuatnya bobor bayam, itu masakan berkuah santan.

Begitulah kehidupan di desa. Bahan makanan gratisan ada di mana-mana. Tanaman tumbuh tanpa perlu dimanja, ternak-ternak berkembang tanpa perlu banyak tenaga yang terbuang.
**
Siang itu Darto, remaja belasan tahun, berkunjung ke rumah Mbokde Ponem, tetangganya. Bukan untuk ikut makan siang. Ia justru membawa buah tangan. Ikan nila goreng hasil tangkapan di kolam ayahnya yang dikuras setiap 4 bulan.

Tok..tok..
"Kulonuwun.." seru Darto pelan.
Mbokde Ponem bergegas menyambutnya.
"Monggo.. eh kamu, Le? Ada apa?"
"Ini Mbokde, ada nila goreng buat lauk makan siang." Darto mengulurkan tas kain berisi mangkok lauk nila goreng.
"Wuah... sepertinya sedang kemil ini. Wah.. sebentar ditunggu mangkoknya."

Mbokde Ponem membawa masuk mangkok plastik bertutup yang berisi beberapa nila goreng seukuran telapak tangan. Sampai di dapur, dipindahkannya ikan goreng ke piring, lalu mangkok plastik itu dicucinya, dilap dan diisi sayur bobor bayam yang menggugah selera. Meski masih agak panas, ditutupnya mangkok plastik itu, lalu dimasukannya ke dalam kantong kain.

"Ini, Le. Sampaikan terima kasih pada Ibu yaa. Ini Mbokde masak bobor bayam masih anget, tadi dikasih Mbak Karjo yang lagi panen."
"Mbah Karjo dekat lapangan bola sana, Mbokde?"
"Iya, kamu kan sering main ke sana, to?"
"Iya, Mbokde. Tapi nggak usahlah sayur bayamnya, Mbokde. Nanti nggak ada yang makan malah sayang."
"Lho, bukannya kamu itu hobi banget sama sayur bobor bayam? Ibumu juga? Ini enak, lho. Nggak pahit. Bayamnya Mbah Karjo jos tenan."
"Lha nanti Mbokde sendiri malah nggak kebagian?"
"Ah, masih banyak kok, Le. Mbokde tadi masak sepanci besar."
"Nggak usah lah, Mbokde."
"Ah, sudah. Ini bawa saja. Ibumu pasti senang."
"Baik, Mbokde. Matur nuwun."

Darto pun menerima tas kain yang di dalamnya ada mangkok plastik berisi sayur bobor bayam itu. Setelah berpamitan, ia balik badan dan mulai berjalan. Malangnya, baru beberapa langkah dari pintu Mbokde Ponem, tiba-tiba

Aduh
Glodak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun