Mohon tunggu...
Ghozi DaudAuliya
Ghozi DaudAuliya Mohon Tunggu... Mediator Hubungan Industrial Ahli Pertama

Saya merupakan seorang ASN yang bertugas sebagai mediator hubungan industrial untuk membina, mengembangkan dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melampaui Diskriminasi: Mengagas Peluang Nyata Bagi Penyandang Disabilitas di Pasar Kerja Indonesia

5 Agustus 2025   20:05 Diperbarui: 5 Agustus 2025   20:13 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Lebih dari 31,2 juta penduduk Indonesia hidup dengan satu atau lebih jenis disabilitas, namun hanya 51,12 %   dari mereka yang berusia produktif (15–64 tahun) tergabung dalam angkatan kerja formal. Artinya, hampir setengah populasi penyandang disabilitas usia kerja sama sekali tidak aktif mencari atau menjalankan pekerjaan formal. Kesenjangan ini jauh lebih dramatis dibanding partisipasi angkatan kerja masyarakat tanpa disabilitas, yang mencapai 70,40 %—menunjukkan jurang kesempatan yang wajib kita tutup.


Dari mereka yang berhasil memasuki pasar kerja, sekitar 60 %   berlabuh pada sektor informal seperti buruh harian, pekerja lepas, atau usaha mikro tanpa jaminan sosial maupun tunjangan kesehatan. Upah rata-rata pekerja penyandang disabilitas di Indonesia tercatat 20–30 % lebih rendah dibanding rekan non-disabilitas, sedangkan peluang promosi dan pelatihan karier kerap tertutup rapat. Kondisi ini tidak hanya menekan kemandirian ekonomi, tetapi juga meredam harga diri dan potensi produktivitas nasional.
Saya menilai dua akar masalah utama. Pertama, implementasi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mewajibkan kuota 1 % di perusahaan swasta dan 2 % di instansi pemerintah masih mandek di angka—tanpa mekanisme audit terpusat, laporan pelanggaran, atau sanksi tegas, banyak perusahaan memilih “patuh semu” dengan menempatkan pegawai disabilitas pada posisi administratif tanpa tugas produktif. Kedua, stigma mendalam dan bias tak sadar di kalangan manajer HR menghalang penilaian objektif; penelitian di Yogyakarta mencatat 84 % pelamar penyandang disabilitas ditolak semata karena kekhawatiran non-obyektif terkait “biaya tambahan” atau “ketidakstabilan kinerja.”


Dari sudut pandang kesehatan mental, kehilangan akses ke pekerjaan layak memicu isolasi sosial, stres berkepanjangan, hingga risiko depresi klinis. Bagi penyandang disabilitas, pekerjaan tak sekadar penghasilan: ia menyangkut identitas, kemandirian, dan rasa menjadi bagian masyarakat. Mengabaikan ketimpangan di ranah ketenagakerjaan berarti meremehkan dampak psikososial yang bisa menggerus kualitas hidup puluhan juta warga.


Data global memperkuat urgensi aksi. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS, hanya 22,7 % penyandang disabilitas usia 16–64 tahun yang bekerja, jauh di bawah 65,5 % populasi non-disabilitas. Studi Deloitte mencatat 74 % permintaan akomodasi di tempat kerja ditolak, sedangkan 19 % responden melaporkan semua permintaannya kandas—padahal biaya akomodasi umumnya rendah dan berkontribusi positif pada kinerja tim. Lebih jauh, OECD mencatat kesenjangan tingkat pekerjaan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas sebesar rata-rata 27 poin persentase di negara anggota, menegaskan bahwa masalah ini bukan eksklusif Indonesia, melainkan kegagalan kebijakan dan budaya kerja global.


Saya meyakini solusi efektif harus berjalan simultan pada tiga lapis. Pertama, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah pelaksana UU No. 8/2016 yang mengatur standar “akomodasi wajar”, mekanisme audit independen, dan sanksi administratif hingga pidana. Data kepatuhan perusahaan harus terpusat dalam portal nasional “Lowongan Kerja Ramah Disabilitas” terintegrasi BKN, Kemenaker, dan Kemensos; transparansi ini akan mencegah manipulasi angka kuota.


Kedua, di level korporasi, modul pelatihan HR dan manajer lini wajib dihadirkan untuk mitigasi bias tak sadar, dipandu psikolog organisasi dan perwakilan komunitas disabilitas. Insentif fiskal seperti potongan PPh Pasal 21 atas upah karyawan penyandang disabilitas serta kemudahan kredit modal akan mempercepat adopsi praktik inklusif. Toolkit adaptasi sederhana—teknologi bantu, penataan workstation, jam kerja fleksibel—harus tersedia melalui subsidi atau kerja sama pemerintah dengan startup disabilitas.
Ketiga, memperkuat pipeline keahlian penyandang disabilitas melalui magang inklusif dan program apprenticeship yang melibatkan SMK inklusi, Balai Latihan Kerja, dan korporasi. Saya juga mendorong perluasan dana hibah kewirausahaan mikro bagi penyandang disabilitas, lengkap dengan pendampingan mentor profesional. Kolaborasi lintas sektor dalam “Indonesia Disability Employment Council” dapat memfasilitasi best practice, forum data, dan inisiatif co-working space ramah disabilitas.


Perubahan budaya menjadi fondasi terakhir. Kampanye literasi inklusi di media massa dan sosial harus menampilkan ragam kisah sukses penyandang disabilitas di dunia profesional. Ketika publik dan manajemen perusahaan memandang disabilitas sebagai keunikan nilai tambah, bukan beban, maka semangat merangkul keberagaman akan menggantikan resistensi.
Dengan langkah terpadu ini, Indonesia tidak hanya menutup jurang ketimpangan, tetapi juga menggerakkan potensi ekonomi luar biasa di balik keragaman. Peluang kerja layak bagi penyandang disabilitas bukan hadiah belas kasihan, melainkan hak asasi yang harus diwujudkan untuk menciptakan masyarakat yang adil, produktif, dan inklusif.

Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018.
2. Universitas Indonesia. Rapid Assessment on Employment for Persons with Disabilities in Indonesia. ILO Jakarta, 2016.
3. International Labour Organization. Rapid Assessment on Employment Challenges of Persons with Disabilities. ILO, 2020.
4. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
5. Centre of Research Excellence in Disability and Health (CRE-DH). Employment and Mental Health of People with Disability. CRE-DH, 2023.
6. U.S. Bureau of Labor Statistics. Persons with a Disability: Labor Force Characteristics — 2024.
7. Deloitte. Disability Inclusion @ Work: A Global Outlook — 2024.
8. OECD. Disability, Work and Inclusion: Mainstreaming in All Policies and Practices — 2022.
9. International Finance Corporation. Economic Inclusion of Persons with Disabilities. IFC, 2020.
10. Rachmadani, F. A., & Gumelar, M. S. (2021). Indonesian Government Policy To Provide Employment Opportunities For Persons With Disabilities. Media of Law and Sharia, 2(2).
11. Better Work Indonesia. Employing Persons With Disabilities: Guideline for Employers. ILO, 2013.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun