Mohon tunggu...
Asep Abdurrahman
Asep Abdurrahman Mohon Tunggu... Dosen - Hidup untuk berkarya dan berkarya untuk hidup

Motto: Membelajarkan Hidup dan Menghidupkan Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Peci: Catatan QS Al-Alaq Ayat 1

8 Juni 2020   10:01 Diperbarui: 8 Juni 2020   11:03 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi orang muslim, peci hitam atau sejenisnya sudah tak asing lagi. Peci sering digunakan dalam aktivitas ritual ibadah. Peci juga menjadi simbol tingkat religiusitas seseorang. Atau menjadi simbol bahwa pemakainnya punya pengetahuan agama yang mendalam, walau memang tak selalu seperti itu.

Di kalangan santri yang mondok, peci menjadi barang wajib yang harus dikenakan. Kalau tidak, santri bisa kena hukuman dari pihak pesantren.

Di kalangan masyarakat, peci menjadi asesoris lengkap saat acara-acara yang berbau keagamaan. Mulai dari ibadah sholat, pengajian, pertemuan sakral keagamaan, acara sakral lamaran dan pernikahan, dan lain-lain.

Di samping itu, peci juga jadi simbol budaya masyarakat tertentu, selain pesantren. Di kalangan pejabat yang akan dilantik, peci seperti jadi barang wajib yang harus dikenakan.

Entah apa alasannya. Apakah untuk pelengkap busana?. Apakah secara psikologis untuk meresapkan nilai-nilai agama ke dalam jiwa sekaligus tingkah polah individu yang menjabat, agar menjalankan amanahnya sesuai dengan perintah agama?.

Atau sebagai tradisi saja?, khususnya di Indonesia. Atau lebih jauhnya hasil akulturasi budaya cina yang panjang masuk ke dalam bangsa Indonesia lewat perdagangan?.

Atau rakyat Indonesia kurang kritis terhadap budaya yang "se-iman/se-simbol", sehingga hal itu diterima begitu saja?. Atau untuk menanamkan rasa keagamaan atau hanya topeng saja?.

Mungkin lebih dekat kepada menanamkan nilai-nilai moral agama lewat simbol "peci". Tapi, apapun alasannya dan analisisnya, yang jelas peci adalah "simbol kesalehan bagi pemakainya. Walau tak selalu benar argumen itu.

Para kyai yang berilmu tinggi peci menjadi ciri khasnya. Kemana-mana, ia memakai peci. Karena mungkin peci menjadi ikon para ulama, apalagi jika dikaitkan dengan organisasi keagamaan yang menganggap bahwa peci jadi ciri khas organisasi tertentu.

Di masyarakat umum, pemakaian peci di luar acara keagamaan, sepertinya sebagian masyarakat beranggapan bahwa yang mengenakannya adalah ustadz, kyai, penghulu, santri, pengasuh pesantren, pejabat baru dilantik, dan lain-lain.

Motivasi pemakaian peci di luar acara keagamaan, bagi sebagian orang memang dan mungkin juga beragam motif. Mulai dari tradisi yang mengakar, seperti; para santri, kyai, ustadz, dan ajengan yang sudah biasa memakai peci. Atau bentuk ketaatan seseorang terhadap agama. Mualaf yang baru masuk Islam. Atau ingin sekedar dikatakan ustadz.

Atau apapun motifnya, juga tergantung niatnya. Dilihat dari fungsi, peci adalah benda yang menutupi kepala. Menutupi kekurangan rambut. Menutupi masuknya sinar matahari. Atau sekedar ingin terlihat agamis, dan lain-lain.

Secara filosofi, setiap orang boleh saja memakai peci, tak ada larangan. Bebas. Selama ditujukan untuk niat yang positif, meskipun juga mungkin untuk tujuan negatif.

Namun, peci pada hakikatnya menutupi isi kepala, yaitu pikiran. Pikiran yang dalam kontek kekinian, jangan asal menghasilkan pemikiran tanpa pertimbangan yang matang.

Menyaring berita hoax, perlu menggunakan isi kepala yang semestinya. Pikiran yang ditutupi rasa iman dan iman akan memancarkan buah pikiran yang bernilai iman.

Bentuknya, tulisan yang lahir dari orang beriman bernada positif. Banyak mengandung hikmah. Berisi tulisan segar dan menyegarkan masyarakat. Tidak bernafsu menyalahkan atau menghujat. Apalagi tulisannya dishare sebagai bentuk propaganda untuk berbuat keonaran.

Jika yang keluar dari buah pikirannya selalu bernada menghujat, menyalahkan orang lain tanpa ilmu pengetahuan yang jelas, doyan membid'ahkan kelompok tertentu, mencari-cari kesalahan orang lain, memproduksi berita hoax, dan lain-lain.

Maka, semestinya ia harus memakai "peci". Peci yang bisa ngerem atas buah pikiran yang "negatif". Namun, lain hal dengan status-statusnya dalam media sosial. Apapun motifnya. Apapun alasannya. Dan apapun latar belakang terdalamnya, nitizen membutuhkan pengakuan dari sesama nitizen.

Pengakuan dalam arti status yang ia tulis adalah bentuk dialog imaginatif atau justru ingin dialog interaktif dengan sesama nitizen lewat tulisan, gambar, video atau berbagi informasi penting baik yang berupa umum, keagamaan, atau bisnis online yang kini sedang menjamur, seperti jamur yang tumbuh di musim hujan.

*Ditulis sambil menunggu kabar menjemput nyoya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun