"Mencintai diri sendiri bukan berarti tanpa luka, tapi berani memeluk luka itu dan tetap bertahan."Â
Kadang, mencintai diri sendiri terasa seperti tugas paling sulit di dunia. Apalagi kalau hatimu masih penuh luka. Luka dari masa lalu yang tak pernah selesai. Luka dari orang-orang yang pernah kamu beri segalanya, tapi memilih pergi. Luka dari harapan yang tak pernah jadi kenyataan. Luka dari kata-kata yang menghancurkan, bahkan mungkin dari orang yang kamu percaya.
Kita sering diajarkan untuk mencintai orang lain. Diajarin untuk sabar, untuk memaafkan, untuk memberi kesempatan kedua. Tapi siapa yang mengajarkan kita cara mencintai diri sendiri saat hati sedang hancur? Siapa yang mengajarkan kita bahwa memeluk diri sendiri sama pentingnya dengan memeluk orang lain?
Kita tumbuh dalam dunia yang sibuk menyuruh kita menjadi versi terbaik, versi paling produktif, versi paling sukses. Tapi mereka lupa mengajarkan cara berdamai dengan versi diri yang lelah, sedih, dan patah. Saat semua orang sibuk menyuruh kita bangkit, tidak ada yang mengajarkan bagaimana caranya berdiri saat kaki kita sendiri bahkan belum kuat menopang.
Lalu, kita mulai terbiasa menyalahkan diri. Saat cinta gagal, kita pikir kita yang tidak cukup baik. Saat mimpi tak tercapai, kita kira kita yang kurang berusaha. Saat orang pergi, kita bertanya-tanya, "Apa aku sebegitu tak layaknya dicintai?" Padahal, luka itu bukan selalu salahmu. Tidak semua kehilangan adalah karena kurangmu. Kadang, orang pergi karena memang mereka memilih begitu. Kadang, takdir memang menyuruh kita belajar lewat rasa sakit.
Tapi bagaimana mencintai diri sendiri saat setiap kali kamu bercermin, yang kamu lihat hanya kekurangan? Bagaimana bisa menyayangi diri kalau yang kamu rasa hanya gagal dan penyesalan? Itu sulit. Tapi bukan berarti tak mungkin.
Belajar mencintai diri sendiri bukan berarti kamu harus merasa bahagia setiap saat. Bukan berarti kamu harus selalu merasa cukup. Mencintai diri sendiri adalah saat kamu bisa berkata: "Aku sedang tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa." Itu saat kamu membiarkan air mata turun tanpa rasa malu. Saat kamu memaafkan diri karena tidak bisa sekuat yang kamu harapkan. Saat kamu berani bilang "tidak" pada hal-hal yang menyakiti, meski kamu takut kehilangan.
Mencintai diri sendiri bukan soal membungkus luka dengan kutipan motivasi. Tapi tentang duduk diam dengan luka itu, memeluknya, dan berkata, "Kamu tidak harus cepat sembuh. Kita bisa pelan-pelan." Dunia sudah terlalu ramai menyuruh kita cepat move on, cepat sembuh, cepat bahagia. Tapi siapa yang bisa menyembuhkan hati yang retak dalam semalam?
Kadang, prosesnya lama. Ada hari kamu bisa tersenyum dan merasa sedikit lega. Tapi esoknya, kamu kembali menangis tanpa alasan. Ada malam di mana kamu bisa tertidur dengan damai, tapi besok paginya kamu terbangun dengan perasaan kosong. Dan itu tidak apa-apa. Proses penyembuhan bukan garis lurus. Dia naik turun. Kadang mundur, kadang diam di tempat. Tapi selama kamu bernapas dan masih berusaha berdamai, kamu sedang bergerak.
Belajar mencintai diri juga berarti kamu mulai memperlakukan dirimu seperti sahabat. Kamu nggak harus selalu keras pada diri sendiri. Kalau sahabatmu gagal, kamu akan memeluk dia, bukan menghujatnya. Kalau sahabatmu sedih, kamu akan mendengarkan dia, bukan mengabaikannya. Jadi kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama untuk dirimu sendiri?