"Statistik boleh bicara tentang pertumbuhan. Tapi ketika rumah tangga masih bergantung pada utang, petani terpinggirkan, dan pekerja kehilangan arah maka kita harus bertanya: ekonomi ini tumbuh ke mana, dan untuk siapa?"
Indonesia sering dibanggakan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Data makroekonomi menunjukkan angka-angka yang tampak menjanjikan: pertumbuhan PDB berkisar di angka 5 persen, inflasi terkendali, neraca perdagangan positif. Namun jika kita jujur menengok ke jalan-jalan sempit, ke pasar tradisional, ke desa-desa terpencil, atau ke rumah-rumah kontrakan padat di pinggiran kota, kita akan mendapati kenyataan lain: pertumbuhan itu belum berpihak pada keadilan.
Perekonomian kita bukan sakit. Ia tumbuh. Tapi tumbuh ke arah yang salah.
Pertumbuhan Tanpa Pemerataan
Selama dua dekade terakhir, Indonesia terus mendorong narasi pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan. Namun, pertanyaan mendasarnya: pertumbuhan untuk siapa? Sementara sektor-sektor unggulan seperti tambang, properti, dan digital berkembang pesat, sebagian besar masyarakat masih berkutat pada pekerjaan informal, upah rendah, dan ketidakpastian hidup.
Data dari BPS menunjukkan bahwa kesenjangan (rasio Gini) masih tinggi di banyak daerah. Ketimpangan antarwilayah, antara desa dan kota, antara Indonesia Barat dan Timur, menciptakan wajah ganda dalam satu negara: satu menikmati bonus demografi, lainnya terjebak dalam stagnasi pembangunan.
Pekerja Bukan Pemilik Masa Depan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga, namun sebagian besar pekerja kita belum memiliki jaminan sosial dan keamanan kerja yang memadai. Buruh pabrik, pengemudi ojek online, karyawan kontrak, hingga pekerja lepas di sektor digital seringkali tidak memiliki posisi tawar dalam sistem ekonomi.
Sementara itu, pemilik modal besar terus memperluas usahanya, mendapat insentif dan fasilitas negara, tanpa kewajiban sosial yang sepadan. Ini bukan sekadar soal kaya dan miskin, tetapi soal relasi kuasa antara mereka yang memegang kendali dan mereka yang menopang fondasinya.
Keadilan Sosial: Amanat yang Terabaikan