Mohon tunggu...
Ghia Syifa
Ghia Syifa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi

Saya Ghia Syifa, 20 tahun, saya mahasiswa aktif UNJ 2018

Selanjutnya

Tutup

Financial

Strategi Indonesia dalam Menghindari Krisis Ekonomi di Masa Pandemi

23 Oktober 2020   14:18 Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:31 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tujuh bulan sudah kita hidup berdampingan dengan adanya pandemi Covid-19 di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah guna mensejahterakan kehidupan masyarakat ditengah pandemi ini. Mulai dari kebijakan memangkas rencana belanja yang bukan belanja prioritas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kata lain bahwa anggaran perjalan dinas atau pertemuan-pertemuan yang tidak perlu bahkan tidak terlalu penting dan juga belanja apapun yang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat harus dipangkas. Pemerintah juga membebaskan sementara PPh Pasal 21 dengan alokasi anggaran yang disediakan mencapai Rp 8,6 triliun. Selain itu juga, pemerintah harus mengalokasikan anggarannya untuk mempercepat pengentasan corona, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.

            Dilihat dari sisi kebijakan moneter di Indonesia, Bank Indonesia telah mengambil beberapa kebijakan moneter guna mendorong perekonomian di masa pandemi Covid-19 ini. Dimana, pada tahun ini Indonesia telah memangkas suku bunga yang acuannya mencapai hingga 100 basis poin. Selain itu kebijakan insentif pelonggaran giro wajib minimum harian telah diperluas oleh Bank Indonesia dalam rupiah yang mencapai hingga 50 basis poin. Padahal pada awal mulanya hanya ditujukan kepada bank yang akan melakukan pembiayaan ekspor dan juga impor, ditambah juga dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain.

            Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) 2020 mengatakan jika kebijakan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia guna menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 itu adalah untuk mengantisipasi volatilitas nilai tukar dan agar aliran modal bisa tetap konsisten. Beliau juga mengatakan bahwa kebijakan bank sentral ini merupakan salah satu inovasi yang telah disesuaikan dengan tekanan global, dengan harapan nantinya bisa diimplementasikan di negara berkembang lainnya.

            Bank sentral di Indonesia juga diharuskan tetap mengaja angka inflasi agar tetap sesuai terget, karena inflasi tidak hanya cukup diatur dengan suku bunga saja. Melainkan juga dapat diatur dengan mengontrol uang yang beredar dan juga menetapkan persediaan uang kas pada bank dengan semestinya. Dan kebijakan menjual surat-surat berharga, dengan misal Surat Utang Negara (SUN) juga bisa mengurangi tingkat inflasi nantinya.

            Perry Warjiyo juga mengungkapkan berdasarkan pengalaman yang dimiliki Bank Indonesia, untuk suku bunga yang konsisten dan juga target inflasi yang sesuai dengan intervensi nilai tukar hingga aliran modal bisa ke negara berkembang termasuk ke Indonesia. Selain itu, ada juga kebijakan moneter untuk menstabilisasi harga dan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan Makroprudensial juga bertujuan untuk membatasi tekanan/risiko sistemik secara luas untuk menghindari biaya yang besar apabila terjadi instabilitas di sistem keuangan, yang juga memiliki strategi memitigasi gejolak/krisis di sektor keuangan.

            Beliau juga menjelaskan bahwa ketika pandemi ini, ada aliran dana keluar secara terus menerus. Bank Indonesia intervensi pasar FX, obligasi pemerintah dan juga segera menurunkan suku bunga dan merelaksasi kebijakan makroprudensial. Dimana kebijakan makroprudensial yang dimaksud BI adalah dipangkasnya rasio loan to value (LTV) untuk sejumlah jenis kredit. Rasio pinjaman terhadap nilai adalah istilah keuangan yang digunakan oleh pemberi pinjaman untuk mengungkapkan rasio pinjaman terhadap nilai aset yang dibeli. Beliau mengatakan bahwa ini untuk membantu mengelola pergerakan kredit dan permintaan agregat hingga dapat membantu respons kebijakan suku bunga.

            Indonesia dikatakan juga bisa meniru kebijakan moneter yang dijalankan oleh negara Amerika Serikat (AS) dan juga China, demi mengatasi dalam upaya pemulihan ekonomi dampak covid-19. Hal tersebut dikatakan oleh Gita Wirjawan sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa dampak pada sektor riil akan dahsyat sekali, maka dari itu Indonesia seharusnya mempertimbangkan langkah-langkah kedepan secara extraordinary, dimana langkah extraordinary ini dikatakan sebagai langkah yang luar biasa dengan maksud pemerintah harus mengeluarkan kebijakan suku bunga kredit harus rendah, adanya penjaminan restrukturisasi, dan skala bantuan restrukturisasipun harus besar. Maksud dari restrukturisasi ini adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.

            Apabila kita tidak melakukan langkah yang luar biasa tersebut seperti penjelasan diatas, maka ekonomi di Indonesia nantinya akan mengalami kelumpuhan, dan para produsenpun dengan mayoritas UMKM nantinya juga akan lumpuh. Dimana apabila perekonomian di Indonesia lumpuh, daya saing ekonomi dinegara kita akan berkurang, baik didalam negeri maupun diluar negeri.

            Jika kita lihat diluar negeri rata-rata bantuan yang mereka berikan itu lebih dari sepuluh persen Produk Domestik Bruto (PDB), seperti bantuan yang diberikan pemerintah Singapura adalah 12,5 persen dari PDB, selain itu juga di Malaysia 11 persen dari PDB, sedangkan di Indonesia hanya 2,5 persen dari PDB. Hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa bantuan dari pemerintah di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, dan hal ini juga akan mengalami daya saing yang ketat jika kita tidak membantu daya beli dan daya produksi.

Maka dari itu, Gita Wirjawan selaku sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menegaskan bahwa Indonesia harus berani mengambil keputusan dengan meniru kebijakan moneter dari negara seperti Amerika Serikat dan China. Walaupun kita berusaha meniru dengan tujuan yang lebih baik, kita juga harus mempertimbangkan agar suku bunganya lebih rendah. Karena apabila sama dengan suku bunga pasar atau komersil akan tetap susah untuk membantu orang yang terdampak Covid-19. Dan pada intinya yang dibutuhkan dalam pemulihan ekonomi ini adalah dengan adanya kecepatan dan ketetapan kebijakan pemerintah saat ini.

            Selain itu juga, pak Gita Wirjawan juga menyarankan apabila pemerintah Indonesia nantinya akan menerapkan Kebijakan Moneter itu harus dilihat dari likuiditasnya. Jika dilihat dari pengumpulan pajak tahun lalu itu terbatas dibawah target, dan pada kuartal I pun pengumpulan pajak sangat terbatas. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sudah menunjukan defisit di kuartal I, yakni sebesar Rp 70-80 triliun. Maka dari itu jikalau Indonesia diharuskan ngutang kembali juga memiliki keterbatasan. Dimana Indonesia sukses dengan meminjam USD 4,3 miliar di pasar luar negeri dengan bunga yang lebih rendah. Dan beliau berpendapat bahwa kalau Indonesia ingin meminjam lagi dari luar negeri akan lebih mahal, apalagi meminjam dari dalam negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun