Masih di bawah kendali Aon, MCM disebut memfasilitasi peleburan dan penjualan bijih yang tidak tercatat dalam sistem PT Timah.
4. PT Refined Bangka Tin (RBT)
Mayoritas saham (sekitar 73%) dipegang Suparta, yang juga menjabat direktur utama. RBT menjadi salah satu korporasi tersangka dalam perkara IUP PT Timah, meski manajemennya membantah terlibat dalam skema ilegal.
5. PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS)
Dikelola Robert Indarto, yang juga sudah divonis. Dalam persidangan, staf SBS mengakui adanya setoran ke money changer milik Helena Lim , bukti bahwa jejaring keuangan ikut berperan dalam pencucian hasil tambang ilegal.
6. PT Tinindo Internusa (Tinindo)
Perkara ini menyeret nama Hendry Lie, pendiri Sriwijaya Air, sebagai pemilik manfaat. Ia dijatuhi hukuman 14 tahun dan denda lebih dari Rp 1 triliun. Adiknya, Fandy Lingga, juga ikut dipidana dalam berkas terpisah.
Keenam perusahaan ini menjadi simbol bagaimana bisnis tambang bisa berubah menjadi instrumen kejahatan terorganisasi.
Mereka saling terkait dalam aliran bijih, peleburan, hingga transaksi ekspor yang menjadikan kejahatan ekonomi ini lebih menyerupai sistem, bukan sekadar praktik individu.
Fenomena ini menegaskan satu hal, mafia sumber daya alam tak lagi beroperasi di ruang gelap. Mereka hidup di tengah sistem, punya izin, punya perusahaan, dan bahkan punya akses ke kekuasaan. Celah perizinan, tumpang tindih regulasi, serta kompromi birokrasi menjadikan negara seolah tidak berdaya di hadapan kekuatan modal.
Bukti-bukti yang muncul menunjukkan keterhubungan antarperusahaan dari pemasok ore hingga eksportir. Semuanya saling menopang dalam struktur yang tampak legal.