Bencana alam yang terjadi selama beberapa hari terakhir telah menunjukkan bagaimana eksistensi oligarki secara nyata melalui penguasaannya terhadap berbagai macam sumber daya alam. Hal ini menjadi sebuah kelumrahan yang terjadi pada sistem kapitalisme.
Kebebasan yang digembar-gemborkan dalam sistem demokrasi telah mengambil hak masyarakat secara penuh terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya. Hal tersebut bahkan dilegalisasi melalui perundang undangan sebagaimana yang tertuang dalam UU Minerba.
Kalimantan yang dahulu menjadi paru-paru dunia, kini lebih dari separuhnya telah menjadi tambang selama kurun waktu 50 tahun lamanya. Bencana banjir terbesar menjadi imbas dari penggundulan dan pengubahan hutan menjadi pertambangan maupun perkebunan sawit.
Dalam sistem kapitalisme, kebutuhan biaya untuk menjadi pejabat publik sangat besar yang bahkan gaji atau tunjangan selama masa jabatan tidak cukup untuk membiayai pencalonan. Antusiasme calon yang sangat besar terhadap jabatan publik tersebut dengan pengorbanan harta, tenaga, pikiran dan lainnya tentu sebanding dengan akses terhadap kekuasaan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa cost yang terlalu besar tersebut tidak bisa di handle sendiri dan memerlukan bantuan dari luar yaitu dari pengusaha. Dari sini terbentuklah perserikatan antara pengusaha dan penguasa.
Pengusaha yang berhasil menaikkan penguasa ke tampuk kekuasaan tentu tidak akan menggratiskan bantuan. Dengan kata lain, "tidak ada makan siang gratis". Atas dasar itulah, penguasa yang berhutang budi pada pengusaha bersedia menetapkan peraturan yang memihak pada pengusaha.
Sistem yang seperti ini terus berjalan, hingga sampai pada satu fase dimana pengusaha yang tidak puas atas kinerja penguasa terhadap perjanjian yang dilakukan. Akhirnya, pengusaha turun gunung untuk menjadi penguasa dengan mengobral janji-janji manis yang berlangsung setiap 5 tahun sekali.
Akhirnya antara pengusaha dan penguasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dan inilah sisi gelap kapitalisme yang terjadi baik di Indonesia maupun dunia. Lantas, dengan sisi gelap seperti ini apakah demokrasi yang terbalut dalam sistem kapitalisme tetap menjadi sistem terbaik? Nantikan tulisan selanjutnya.