Mohon tunggu...
R. Bindoeng
R. Bindoeng Mohon Tunggu... Seniman - Pembual

Seorang lelaki berpostur kecil. Banyak yang menjuluki dengan 'pria menjengkelkan'. Usil, suka menulis keusilan dengan puisi, prosa, cerpen, catatan dkk. Pegiat di Majelis Tobung Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Akhir Sebelum Pulang

12 Januari 2021   08:17 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:34 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam akhir sebelum pulang, lamunanku hanya tertitik pada ibu dan ayah, melamuni semua bakti yang kupersembahkan sering salah. Membuat angan merangkai berbagai macam cara berbakti, setidaknya pas dibilang layak. Sesekali anganku utuh kemudian berhembus, karena lumayan banyak salah yang kuperbuat dalam baktiku. Pulangan kali ini hanyalah resah bagiku.

"Maling!"

Teriakan itu mengkaburkan lamunan dan anganku yang belum mencapai sempurna. Bahkan mengalihkan pikiran menjadi seratus persen tidak karuan. Maling itu menyelusup kembali ke pesantren. Maling nyawa yang kerap kali datang hanya ingin membunuh kiai di kediamannya. Santri yang bertugas siap siaga, lari mengejar arah maling yang memecahkan suasana. Tak tertinggal juga pun aku mengejarnya.

Aku yang memang geram dengan maling itu, mengejarnya di posisi terdepan. Ingin kutangkap, kutanyakan apa maksud dari keinginannya, atau langsung kucekik lehernya hingga tak bernyawa. Namun sial, maling itu terlalu gesit buatku. Nafasku terengah-engah, aku dibuat lengah olehnya. Langkah terahir yang kulihat, ia lari ke semak batas keluar santri. 

Tapi aku tak menyerah, kumasuki semak tempat ia berlari tanpa rasa takut, meski sempat kulihat maling itu tengah bersenjata. Berbagai gaya aksi kuperagakan, mulai dari mengendap-endap, tiarap dan mengintai setiap gerakan di malam yang begitu pekat. Hingga cukup lama aku mengintai, namun maling nyawa itu tak kunjung nampak.

Ahir-ahir ini, kiai seperti diburu entah mengapa. Seakan hanya orang seperti beliau yang menjadi incaran nyawa, melihat sudah banyak kiai yang wafat sebab teror di hari sebelumnya. 

Anehnya, yang sering menteror adalah orang yang berseragam atau berlagak seperti maling. Sehingga banyak pertanyaan yang membatin, mengapa harus kiai, mengapa harus orang alim seperti beliau yang menjadi sasaran kematian. Dan seperti mengapa ini, takkan pernah kutemui jawaban yang pasti.

"Aak!", tengkukku serasa terpukul benda berat. Maling itu berhasil menemukanku terlebih dahulu. Berbagai macam uasaha perlawanan kukerahkan, namun serangannya begitu bertubi-tubi, membuatku terpelanting lemah tak berdaya. Lantas badanku diseret entah kemana. Dan "Uhuk", tusukan benda tajam terasak menusuk perutku. Kepalaku panas dingin, mulutku berbatuk-batuk mengaluarkan cairan amis berasa darah. 

Semua keadaan sekitar serasa memutih, perlahan menghitam lalu putih kembali. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku sudah mati ataukah telah berada di tempat lain. Tapi aku bernafas, rasa sakitpun tak terdapat di tubuhku. Aku bangun, bergegas mencari kembali kemana maling itu pergi. Namun pupus sudah, maling itu hilang entah ke mana. 

Berusaha aku tetap mencari, namun tetap saja nihil dalam suasana yang sangat gelap. Aku memutuskan kembali lagi ke asrama pesantren. Sampai depan masjid tak jauh dari semak, aku melihat teman-teman yang tadi ikut mengejar tampak lelah, seperti mengambil nafas panjang dengan keringat yang mengucur dari batuk dahi yang membasahi mukanya.

"Darimana saja kau?", Jubairi teman seamanat bertanya padaku dengan sedikit terengah-engah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun