Tradisi Memotong Gigi Peralihan Menuju Kedewasaan
Oleh Ghaziah Aniqah Rauzah
Santri MAS KMI Diniyyah Puteri
Dalam tradisi Hindu di Bali, terdapat sebuah ritual penting yang dikenal dengan nama mepandes, mesangih, atau metatah. Upacara ini biasanya dilaksanakan ketika seorang anak memasuki masa remaja, sebagai bagian dari kewajiban spiritual umat Hindu di Bali (Artini, 28 Maret 2022).
Praktik ini sudah ada sejak lebih dari dua milennium yang lalu dan hingga kini tetap dijaga tradisi tersebut sebagai bagian dari budaya serta keyakinan masyarakat Hindu di Bali. Ritual ini tidak sekadar menyangkut aspek fisik berupa mengikis gigi, tetapi juga mengandung makna  spiritual yang mendalam.Tujuan utama dari upacara ini adalah menyucikan diri dengan mengikis enam sifat buruk yang di sebut Sad Ripu,yakni kama (nafsu), loba (keserakahan), kroda (amarah), mada (kemabukan atau sifat congkak), moha (kebingungan atau keangkuhan), dan matsarya (iri hati).Beberapa hari sebelum ritual, biasanya dilakukan persembahyangan di pura untuk memohon restu.
 Tahap ritual ini di mulai dengan persiapan serta pembersihan diri, kemudian dilaksanakan upacara mecaru sebagai simbol penyelarasan alam dan pembersihan energi negatif. Setelah itu, digunakan perlengkapan khusus seperti pahat, kikir, tebu, atau kayu dadap dalam proses mengikis gigi. Pada tahap inti, gigi taring dan empat gigi seri bagian atas dikikis oleh pendeta, setelah selesai dilakukan penyucian tubuh dari pinggang ke atas menggunakan air kelapa hijau sebagai lambang penghapusan energi negatif. Tahap terakhir ditantadai dengan penyajian enam rasa (pahit, manis, asin, asam, sepat, dan pedas) yang dicicipi peserta sebagai sebuah lambang keseimbangan hidup
Upacara ini merupakan salah satu dari sebelas rangkaian ritual penting yang harus dijalani oleh umat Hindu di Bali sepanjang kehidupannya. Pelaksanaan upacara ini bukan hanya tradisi turun-temurun,melainkan juga memiliki makna religius yang dalam. Seseorang yang telah melaksanakan ritual ini dianggap lebih suci serta lebih mudah dalam menjalin hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Selain itu, pemotongan gigi juga dipandang sebagai bentuk kewajiban moral orang tua terhadap anaknya. Orang tua yang mampu menunaikan ritual ini bagi anak-anaknya dianggap telah menjalankan tanggung jawab spiritual dalam keluarga. Dengan demikian, metatah tidak hanya menjadi tanda peralihan menuju kedewasaan, tetapi juga simbol pengendalian diri terhadap enam sifat buruk manusia. Dengan demikian, upacara ini memiliki nilai religius, etis, sekaligus sosial yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali.
Salah satu pantangan dalam ritual ini adalah larangan bagi Wanita yang sedang hamil untuk menghadiri upacara tersebut. Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan didasari oleh keyakinan masyarakat Hindu Bali bahwa janin dalam kandungan merupakan sesuatu yang sangat suci, karena ia masih murni dan belum tersentuh oleh dosa atau pengaruh dunia luar. Sementara itu, orang yang menjalani ritual metatah dipandang berada dalam kondisi tidak suci akibat masih terikat oleh sifat-sifat keduniawian yang kemudian akan disucikan melalui ritual tersebut.
Dengan demikian, adanya pembatasan ini dapat mencerminkan betapa masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi kesucian dan keharmonisan spiritual. Kehadiran Wanita hamil dianggap dapat menimbulkan ketidakseimbangan energi sakral dalam jalannya upacara, sehingga demi menjaga kesempurnaan berjalannya ritual dan keselamatan ibu serta janin, larangan ini benar-benar dipatuhi.