Mohon tunggu...
Ghandie Kurnia Widi
Ghandie Kurnia Widi Mohon Tunggu... Freelancer - Student

Saya adalah seorang mahasiswa program studi S1 Management Business Bina Nusantara University

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gretha Thunberg, Kerusakan Alam, dan Ironi Perubahan Iklim Dunia

18 Oktober 2019   14:06 Diperbarui: 18 Oktober 2019   14:38 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apakah kamu pikir mereka mendengarkan kita? Kita akan membuat mereka mendengar kita!" 

Kata-kata tersebut adalah seruan yang diberikan Greta Thunberg kepada sekitar 250.000 orang di jalanan New York, dan jutaan orang di seluruh dunia yang berpartisipasi dalam protes iklim terbesar dalam sejarah. Kata-katanya yang tajam dan inspiratif telah menyadarkan banyak orang tentang iklim dan keadaan darurat ekologis.

Greta Thunberg, seorang remaja berusia 16 tahun menyuarakan aspirasinya mengenai perubahan iklim dan isu lingkungan hidup. Aksinya dimulai pada bulan Agustus 2018 lalu dimana dia mogok sekolah pada tiap hari Jumat untuk melakukan protes di depan gedung lembaga legislatif nasional Swedia. Ia menyuarakan agar pemerintah Swedia mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris. Aksinya ini menarik perhatian dan semakin luas. Setiap Jumat ia mengajak teman-temannya untuk melakukan aksi serupa hingga meluas dan dikenal dengan istilah Fridays for Future.

Dikutip dari Time, hingga 24 Mei lalu, 1,6 juta siswa di 1.600 kota di 125 negara mengikuti aksi protes Greta, mogok sekolah untuk mendesak pihak berwenang mengambil tindakan tegas atas perubahan iklim. Aksinya menginspirasi berbagai macam gerakan protes serupa di seluruh penjuru dunia. 

Nama Greta terus dikenal dimana-mana hingga ia diundang untuk berbicara di Konferensi Perubahan Iklim PBB 2018. Beberapa seruan yang dibawa ke protes antara lain desakan kepada negara-negara untuk beralih ke energi terbarukan, tuntutan untuk mematuhi Perjanjian Paris 2015, hingga tekanan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Semua ini dilakukan demi alasan penting, Greta melihat kondisi lingkungan hidup saat ini, terutama isu perubahan iklim sudah sangat mengkhawatirkan. Sepanjang 2019 sudah terjadi berbagai peristiwa terkait perubahan iklim, seperti:

Gelombang panas yang melanda Eropa pada Juli 2019. Peringatan dikeluarkan di Prancis utara dengan suhu udara mencapai lebih dari 41C. Di Inggris, suhu udara mencapai 39C, Catatan suhu Belgia, Jerman dan Belanda juga mengalami kenaikan yang signifikan dalam jangka waktu yang sama. Para ilmuwan menyatakan hal ini terjadi karena "konsentrasi karbondioksida (gas rumah kaca) yang lebih tinggi di atmosfir". Penggunaan bahan bakar fosil yang mempengaruhi kestabilan iklim global secara serius.

Banjir yang melanda Amerika Serikat pada Juni 2019, banjir bermula pada bulan Maret ketika rangkaian hujan lebat dan salju cair melanda Missouri. Sejak itu, banjir tak terhindar karena Mei adalah bulan paling banyak hujan di Amerika. 

Ahli lingkungan Profesor Samuel Munoz dari Northeastern University mengatakan banjir tahun 2019 bukanlah hal yang biasa. Menurutnya, "tidak biasa" kawasan pedalaman Amerika dan Midwest mengalami badai besar dan cuaca buruk pada saat musim semi. Perubahan iklim yang disebabkan manusia memperkuat penyebab dari bencana banjir tersebut.

Kebakaran hutan Amazon yang terjadi pada baru-baru ini semakin memperburuk keadaan. Hutan Amazon, yang lebih dari setengah kawasannya terletak di Brasil, adalah hutan hujan tropis. Ini dianggap sebagai hutan keanekaragaman hayati dengan berbagai spesies unik tumbuhan dan hewan. Hutan lebat ini menyerab karbon dioksida secara besar-besaran. Karbon dioksida merupakan sebab terjadinya perubahan iklim karena memicu terjadinya pemanasan global. 

Selain itu, kawasan hutan hutan Amazon yang sangat luas membuat volume air yang dihasilkan melalui penguapan sangatlah besar. Jika kehilangan sebagian wilayah Amazon,berarti penguapan air yang dihasilkan pun akan berkurang. 

Hal ini pada akhirnya akan berkontribusi pada turunnya kestabilan iklim di bumi. Sehingga, kebakaran yang melanda Amazon dikhawatirkan akan memperparah peningkatan suhu bumi, seiring dengan kekeringan parah di kawasan tersebut. Penyelamatan Amazon menjadi penting dalam penanganan pemanasan global.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang merupakan wadah komunikasi internasional mengenai perubahan iklim menyatakan, penyebab  terbesar perubahan iklim ialah peningkatan suhu permukaan bumi (global warming). Global warming terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca hampir dihasilkan oleh semua sektor kegiatan berbahan bakar fosil, limbah organik, dan bahan pendingin pada alat elektronik. 

Kegiatan-kegiatan seperti deforestasi, pengelolaan sampah yang buruk, dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pun menambah produksi emisi. 

Dikutip dari situs Mongabay, IPCC memperingatkan bahwa hanya ada 12 tahun tersisa atau sampai tahun 2030 untuk mencegah bencana iklim ekstrim yang terjadi karena pemanasan global dengan maksimum kenaikan suhu 1,5C. Kenaikan permukaan air laut, melelehnya gletser juga akan lebih sering terjadi dengan cepat. Hal ini juga berisiko terhadap manusia dan Bumi. Keputusan ada di tangan kita untuk bisa mengatasi krisis iklim dan kerusakan ekologi ini.

Dampak kerusakan alam dan perubahan iklim di Indonesia
Di Indonesia sendiri, dampak dari perubahan iklim dan kerusakan alam sudah terasa. Hal itu ditandai dengan terjadinya berbagai bencana alam akibat dari kerusakan lingkungan. 

Contoh bencana banjir dan tanah longsor di Bengkulu pada April 2019 yang termasuk salah satu bencana hidrometeorologi (bencana terkait iklim). 7 dari 10 bencana dalam kajian BNPB terkait iklim. Banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan abrasi serta kebakaran lahan dan hutan termasuk bencana hidrometeorologi.

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia cenderung semakin ekstrem. Dampak sudah terlihat di antaranya, beberapa pulau kecil di Indonesia bagian timur yang makin mengecil luasnya atau bahkan hilang. Saat ini kita merasakan semakin tidak pastinya musim hujan dan kemarau. 

Masa peralihan musim, baik dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya bisa berujung terjadinya banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Ketiga, degradasi lingkungan yang kian meningkat. Degradasi ini merupakan dampak pembangunan yang tidak terkendali. Pemenuhan lahan terkait kebutuhan permukiman, pertambangan, dan pembangunan juga semakin bertambah.

Saat ini di negara kita, isu lingkungan hidup menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan laju industri yang semakin meningkat harus diimbangi dengan menjaga ekosistem alam. 

Pembangunan tidak boleh mengabaikan aspek ekologi. Sebagai generasi yang saat ini mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Kita memiliki tanggung jawab moral untuk meninggalkan keadaan alam yang baik untuk generasi mendatang.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun