Oleh: Syamsul Yakin & Muhammad Ghalih Adhinul Ikhsan
Dosen & Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akhlak adalah respon spontan. Bagi seorang dai, akhlak adalah bagaimana ia merespon secara spontan terhadap orang-orang yang didakwahinya, atau mad'u. Mereka ini memiliki berbagai macam perilaku. Ada yang menyenangkan, ada yang sibuk dengan urusannya sendiri, dan ada pula yang menguji kesabaran dai. Namun, Allah menjamin bahwa seorang dai dapat tetap bersikap lemah lembut dalam menghadapi mad'u, apapun keadaannya. Allah menegaskan "Maka berkat rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka" (QS. Ali Imran/3: 159)
Dalam sejarah dakwah Rasulullah, ayat ini merupakan jaminan dari Allah kepada Rasulullah bahwa apapun respon mad'u kepada Rasulullah ketika beliau berdakwah, Allah akan melembutkan hatinya. Tentu saja hal ini juga berlaku bagi para dai di zaman sekarang. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Rasulullah memperlakukan kaum kafir Mekah dengan lembut. Rasulullah memandang mad'u sebagai objek dakwah dan sesama manusia yang harus dikembalikan ke jalan kebenaran.
Oleh karena itu, meskipun mereka melakukan pelanggaran terberat sekalipun, Nabi tetap bersikap lemah lembut, bahkan ketika mereka melakukan upaya pemboikotan. Di Mekkah, Nabi diboikot secara ekonomi. Mereka mengumumkan untuk tidak menjual apa pun yang dibeli Nabi dan tidak membeli apa pun yang dijual Nabi. Padahal, mata pencaharian utama penduduk Mekah adalah berdagang, dan kota Mekah adalah pusat perdagangan.
Sebagai seorang da'i, Nabi Muhammad SAW menyikapi berbagai situasi dengan akhlak yang mulia. Allah berpesan, "Dan sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka." (QS. Ali Imran/3: 159). Dari ayat tersebut, kita dapat memahami dua sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang dai menurut tuntunan Al-Qur'an, yaitu lemah lembut dan pemaaf. Mengenai sifat pemaaf, Allah berfirman, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim." (QS. al-Syura/42: 40).Â
Selain itu, seorang dai juga harus memohonkan ampunan bagi mad'u yang telah berbuat dosa kepada Allah. Hal ini tertuang dalam ayat, "Mohonkanlah ampunan bagi mereka" (QS. Ali Imran/3: 159). Ketika berdakwah di Thaif, Nabi Muhammad SAW pernah diperlakukan tidak adil. Malaikat berkata, "Hai Muhammad, jika kamu mau, aku bisa menimpakan al-Akhsyabain (dua gunung besar yang ada di kiri dan Masjidil Haram). Â Rasulullah menjawab, "Tidak, namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun" (HR. Bukhari).
Seorang dai juga harus mau bermusyawarah dengan mad'u. Allah mengajarkan, "Dan bermusywarahlah dengan  mereka  dalam urusan itu" (QS. Ali Imran/3: 159). Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah pada saat Perang Uhud. Ada dua pendapat: tetap tinggal di Madinah atau keluar untuk menyambut musuh di luar Madinah. Mayoritas Sahabat mengusulkan untuk keluar menemui musuh, dan Nabi memutuskan untuk pergi bersama pasukannya ke luar Madinah.
Selain semua sifat tersebut, yang penting bagi seorang dai adalah tawakal. Allah berpesan, "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya" (QS. Ali Imran/3: 159). Jika dirinci berdasarkan surat Ali Imran ayat 159, akhlak yang harus dimiliki oleh seorang dai adalah lemah lembut, mau memaafkan, memohon ampun, musyawarah, dan tawakal.