Mohon tunggu...
Ghalibah Handalah
Ghalibah Handalah Mohon Tunggu... Model - Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UNTIRTA 2019

ditulis agar dibaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Pudar, Elite Berjaya

13 Desember 2019   19:44 Diperbarui: 13 Desember 2019   19:43 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini muncul wacana terkait perpanjangan masa jabatan Presiden yang menimbulkan pro dan kontra diberbagai kalangan. Isu ini diangkat ke media pada bulan November lalu melalui delegasi Nasdem namun delegasi Nasdem tersebut menyatakan bahwa ia hanya meneruskan aspirasi masyarakat. Melihat sudut pandang perpanjangan masa jabatan ini, sudah sangat bertentangan dengan DEMOKRASI yang negara kita anut selama ini. 

Demokrasi mengenai bagaimana nantinya jika kita, Indonesia kembali pada masa Presiden Soeharto yang sangat tidak bisa dilupakan dari pikiran rakyat. Rakyat Indonesia memiliki trauma koloektif terhadap kepemimpinan absolut kepala negara di Orde Lama dan Orde Baru. Bagaimana tidak? Praktik otoritarianisme adalah hal yang ditakutkan oleh rakyat kita. Apalagi melihat begitu banyaknya konflik di Indonesia yang sangat  ditentang oleh rakyat terhadap Kepala Negara yang saat ini sedang menjabat.

Wacana ini tidaklah muncul di awal kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2014, namun muncul pada periode kedua ketika mayoritas parlemen telah dikuasai - terlepas bahwa Jokowi menolak usulan ini. Wacana yang sama pernah muncul di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode kedua, ketika ia berhasil membangun koalisi dengan mayoritas parlemen, usulan tiga periode juga sempat muncul. 

Terkait perpanjangan masa jabatan ini,  sikap otoritarianisme bahkan oligarki adalah hal pertama yang terlintas dipikiran masyarakat. Memanfaatkan jabatan hanya untuk kepentingan pribadi, mencari kekayaan materi semata, begitulah mungkin musuh yang sedang dihadapi oleh rakyat saat ini. Baik pada masa SBY maupun Jokowi, dapat disimpulkan bahwa konsolidasi elite politik berpotensi memunculkan kebijakan yang berbahaya bagi demokrasi.

Penambahan masa jabatan Presiden ini tentunya tidak relevan dengan nilai-nilai Demokrasi. Jangankan nilai-nilai Demokrasi, tapi apakah sebenarnya negara kita sudah berhasil dalam menjalankan Demokrasi?

Politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan peng hormatan terhadap kebebasan sipil termasuk hak-hak minortitas (Snyder, 2003). 

Itu semua adalah indikator utama berhasilnya Demokrasi sejati suatu negara. Apabila Indonesia sudah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir semua kriteria di atas, maka Indonesia dikatakan telah berhasil mengonsolidasikan demokrasinya. Bukan hanya wacana perpanjangan masa jabatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Demokrasi namun sudah kita ketahui banyak indikator-indikator tersebut yang sudah dilanggar, tidak dijalankan, bahkan diabaikan lalu muncul banyak terjadinya konflik.   

Belajar dari negara-negara yang sudah menjalankan perpanjangan masa periode seperti yang terjadi di enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia, dan Tajikistan misalnya, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah masa jabatan presiden diperpanjang. juga dilihat dari aspek hak politik mengalami kemunduran setelah empat tahun perpanjangan masa jabatan presiden dan aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran setelah 5-10 tahun. Apakah Indonesia siap mengahadapi masalah-masalah tersebut? Masa jabatan yang dipegang oleh kepala negara kita saat ini saja sudah banyak masalah karena belum ada rasanya impelemtasi Demokrasi Sejati. Setelah tidak terlaksananya demokrasi lalu munculah masalah-masalah geopolitik.

Indonesia dalam dua dekade belakangan ini telah mengalami dinamika geopolitik yang  cukup fluktuatif. Hal yang cukup signifikan adalalah saat negara sebagai satu-satunya otoritas tertinggi di bumi Nusantara yang dalam beberapa waktu telah dipersonifikasikan dengan kekuasaan sekorang Presiden yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun, mengalami goncangan hebat yang tidak hanya membawa suatu perubahan pada pucuk kekuasaan namun juga kekakcauan yang meluas diberbagai provinsi dengan sangat mengerikan. Goncangan terserbut terjadi akibat taufan keuangan dan media massa yang telah terlanjur mempersepsikan kekuasaan negara yang demikian besar telah dijalankan tidak tepat dan bijaksana. Walaupun sescara perlahan pemerintah pusat sebagai gelombang desentralisasi tetap bergerak sehingga secara geopolitik diperukan suatu kompromi yang konstruktif antara pemerintah pusat dan daerah. (Kris Wijoyo, 2017).         

Gila jabatan. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana pemimpin-pemimpin di Indonesia saat ini. Kekuasaan yang menjadi tempat untuk berjaya utnuk diri sendiri bukan berjaya atas berhasilnya suatu Negara. Castellss menyampaikan bahwa pertarungan kekuasaan pada hakekatnya bagaimana membangun suatu makna dalam pikiran masyarakat, hal tersebut dibenarkan oleh Sasangka Jati yang menjelaskan bahwa sikap baik atau buruk seseorang sangat ditentukan oleh cara berpikirnya dan wataknya ditentukan oleh akumulasi dari tindakan yang berasal dari cara menggunakan pikirannya. Namun jika hanya terhenti pada contoh-contoh yang bersifat jasmaniah  Sasangka Jati memberikan framework pemahaman bahwa pemikiran manusia hanya bisa mengalami penceraahan apabila sikap hidupnya dihubungkan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang sangat erat huungannya dengan kesejatian dari jiwa manusia yang cinta keadilan dan peradaban. Dalam mendirikan suatu kepercayaan pada kekuasaan Tuhan yang nyata. Umat Muslim diberitahu bahwa nilai-nilai dalam masyarakat global-baru sesungguhnya adalah nilai-nilai universal dari Islam murni. Padahal masyarakat global-baru dan kaum elit kosmopolitannya adalah produk Peradaban Barat modern yang menyebarkan nilai-nilai peradaban tidak bertuhan. Di antara nilainilai itu adalah politik Syirik yang sekarang telah dianut oleh seluruh umat manusia dalam kepercayaan buta yang mematikan, dan Riba dalam ekonomi modern yang menjerat umat manusia telah memunculkan perbudakan-ekonomi baru (Imran Nazar, 2003).

Secara normatif, praktik pembatasan masa jabatan presiden memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi. Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme. Di Indonesia, memori terhadap kesewenang-wenangan Orde Lama dan Orde Baru belum juga hilang, sehingga upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden justru mencederai reformasi. Apalagi studi Gelfeld juga telah menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden tidak berhubungan dengan kemajuan suatu negara. (Juwita, 2019). Usulan perpanjangan masa jabatan presiden, dapat dianggap sebagai jalan memuluskan penguatan oligarki semata, yang secara jangka panjang dapat mengancam kelestarian demokrasi. Sebagai suatu sistem yang dinamis, demokrasi menggantungkan harapan pada aktor utama yaitu masyarakat sipil. Maka para aktor masyarakat sipil harus berperan mengamankan demokrasi melalui kontrol politik yang berkelanjutan, agar potensi penyelewengan demokrasi semacam ini dapat dihindari.

*Penulis adalah mahasiswa semester 1,

 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA

        

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun