Mohon tunggu...
Gusty Fahik
Gusty Fahik Mohon Tunggu... Administrasi - Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

I'm not who I am I'm who I am not (Sartre)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Melihat Wajah Pendidikan Kita lewat Debat Capres

19 Januari 2019   09:59 Diperbarui: 19 Januari 2019   10:23 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat perdana pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2019 yang diselenggarakan KPU menimbulkan banyak tanggapan. Ada yang bilang menarik, ada yang bilang biasa saja, pun ada yang bilang buruk. 

Agak sulit menemukan penilaian yang objektif ketika masyarakat utamanya warga internet (netizen)  cenderung terpolarisasi  dalam dua kubu sesuai pilihan politik masing-masing. Mereka yang berada pada posisi tengah, lebih memilih menyoroti aspek teknis jalannya debat. 

Mereka melihat debat perdana itu lebih mirip cerdas cermat bahkan obrolan ringan biasa, sebab beberapa kali pertanyaan dan tanggapan terkesan tidak bertaut alias tidak nyambung.

Saya hanya akan mencoba melihat apa yang terjadi dalam debat perdana itu dengan mengarahkan pandangan ke arah yang lebih luas, bukan melulu soal capres-cawapres. Bagi saya, apa yang terjadi dalam debat itu menunjukkan sesuatu yang barangkali luput dari perhatian publik yakni proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.

Ketika pasangan calon dihadirkan dalam sebuah arena debat, publik berharap akan menyaksikan sebuah pertarungan ide. Dari situ publik bisa melihat apa yang ada dalam kepala masing-masing pasangan calon mengenai rencana menahkodai negara ini ke depan.  

Jika kemudian ekspektasi publik gagal terpenuhi, kegagalan itu bukan baru terjadi ketika arena debat itu tercipta. Kegagalan sebetulnya sudah dimulai bahkan sebelum KPU menetapkan ada atau tidaknya debat bagi pasangan calon.

Kegagalan yang saya maksud terjadi dalam proses pembelajaran selama sekian tahun di lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini. Saya akan menunjukkan bagaimana kegagalan dalam proses itu terjadi, lewat pengalaan saya sendiri. Barangkali pengalaman ini akan terkesan sangat subjektif, tetapi ada baiknya saya bagikan sebagai bahan refleksi bersama.

Saya seorang pekerja serabutan. Saya adalah guru SMA, pengajar tanpa ikatan jangka panjang dengan beberapa perguruan tinggi, sekaligus penggerak literasi berbasis komunitas yang kadang aktif, kadang pasif. Ketiga medan kegiatan inilah yang saya jadikan basis untuk membaca apa yang tersaji dalam debat capres kemarin.

Sebaga pengajar di SMA dan di perguruan tinggi saya selalu memberi tugas termasuk ujian kepada mahasiswa dalam bentuk esai. Setelah saya bandingkan, kesulitan terbesar justru mucul dari para mahasiswa di perguruan tinggi. Betapa sulitnya mereka merangkai ide-ide dalam kepala mereka menjadi sebuah tulisan utuh yang elaboratif. 

Tidak jarang mereka memilih jalan keluar gampang yakni melakukan plagiasi dengan mencopot tulisan-tulisan yang dengan mudah bisa mereka dapatkan di internet. Saya coba bertanya kepada rekan-rekan pengajar yang lain, dan saya dianjurkan memberi kisi-kisi soal sebelum ujian. 

Hasilnya, mereka bisa menyelesaikan ujian tetapi butuh waktu lebih banyak untuk bisa memahami maksud tulisan mereka karena ketidakmampuan menulis/merangkai ide dalam tulisan secara tersktruktur dan sistematis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun