“The more the skill is exercised, the less aware you are of using it. It begins to feel
natural, like you’ve always had it. Walking and talking are good examples. “ -The Talent’s Code – Daniel Coyle, c. 2009
Buku ini menarik, baru beberapa menit membaca aku sudah bisa menemukan banyak halyang penting dan berharga bagi diriku mengenai bakat –atau apa yang biasa kita sebut dengan bakat.
Di buku ini, Coyle mengisahkan ada salah seorang gadis bernama clarissa yang tidak terlalu baik dalam memainkan clarinetnya, dia sering salah-salah. Hingga akhirnya dia menemukan salah satu lantunan instrument clarinet yang akhirnya menjadi instrument favoritnya. Dia akhirnya mulai mencoba meniru instrument tersebut. Mencoba-coba. Mengulang.
Kemudian salah, lalu mengulang lagi. Berlatih. Mencoba ritme baru. Mengulang lagi. Merasakan. Berlatih. Mengulang lagi. Salah, kemudian diperbaiki. Mengulang lagi. Begitu seterusnya ia selalu melakukan penyempurnaan-penyempurnaan serta latihan-latihan dalam memainkan clarinetnya.
Ada satu hal yang menarik dari kisah yang ditulis oleh Coyle disitu. Yaitu adanya progress dari pembiasaan latihan yang dilakukan oleh Clarissa. Mungkin sekilas tidak terasa, tapi jika jeli, maka kita akan tahu bahwa pada kali yang sangat pertama, Clarissa hanya mencoba meniru saja. Percobaan kedua, rasa ingin tahunya membuatnya ingin mencoba memainkan tone yang lain. Kemudian ia mulai memadukan tone-tone tersebut. Sembari terus latihan dia mulai bisa merangkai suatu ritme.
Seiring berjalannya waktu ia mulai memasang ‘rambu-rambu’ serta target dan pemfokusan penyempurnaan pribadi bagi dirinya secara mandiri. Inilah yang namanya progress. Dengan terus berlatih maka akan ada progress dan perkembangan yang lebih baik. Bahkan bisa jadi manusia melakukannya secara tidak sadar (dalam cerita diatas, Clarissa mulai mencoba-coba tone lain hanya karena penasaran, bukan secara sadar ingin mengembangkan kemampuannya). Latihan akan membuat progress. Dan latihan semacam ini disebut oleh Coyle dengan nama ‘Deep Practice’.
Hal kedua yang menarik adalah beberapa hasil riset yang disertakan oleh Coyle mengenai Myelin dan neuron sirkuit dalam otak. Ternyata, apa yang kita biasa sebut dengan bakat (dalam buku Coyle disebutkan) adalah buah dari hasil kerja sel-sel dalam otak yang bisa mengurangi kesadaran kita ketika melakukan sesuatu . Sel-sel dalam otak itu hanya akan bekerja ketika kita melakukan hal yang sama –dalam konteks ini disebut dengan ‘latihan’ secara terus menerus.
Sekali kita latihan, sebut saja kita latihan menulis, maka ribuan sel dalam otak kita akan bekerja dan bergerak. Semakin banyak kita melatih kemampuan kita maka kesadaran kita dalam melakukan hal itu akan berkurang sedikit demi sedikit hingga kita akan bisa melakukannya secara alami.
Contoh paling nyata adalah ketika kita belajar bahasa. Pada awal-awal belajar bahasa, speaking dan listening akan terasa sangat sulit. Kadang otak kita kebingungan mencerna dan menerjemahkan setiap kata yang masuk dan yang hendak dikeluarkan.
Tapi, ketika kita selalu berlatih dan berlatih. Maka kesadaran kita dalam melakukan ‘penerjemahan’ didalam otak kita akan berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya kita merasa seperti berbicara atau mendengar dengan bahasa ibu kita sendiri. Bahasa baru yang kita pelajari, yang pada awalnya terasa begitu sulit akan terasa begitu alami kita gunakan jika kita terus melakukan latihan dan terus menggunakan bahasa tersebut..
Saya akan ambilkan contoh lain dari bukunya Gladwell. Gladwell mengatakan bahwa kemampuan seseorang akan menjadi sangat runcing –bahkan seseorang dapat meraih sukses di bidangnya jika ia sudah berlatih selama 10.000 jam. Lalu disebutkan bahwa rahasia dibalik kesuksesan The Beatles adalah mereka sudah berlatih selama lebih dari 10.000 jam –kalau tidak salah, selama kurang lebih 13.000 jam.
Semakin sering seseorang melatih kemampuannya maka akan semakin ringan bahkan hilang beban dipundaknya disaat sedang melakukan keahliannya, apapun keahlian itu: mengajar, merawat pasien, mengoperasi, menjahit, memahat dan lain sebagainya, apapun itu. Usaha dan latihan takkan mengkhianati hasil.
Mungkin pada awal-awal latihan kita akan merasa sulit. Tentu, itu hal yang wajar. Bahkan pepatah mengatakan “If at first, you don’t success, you normal”. Mengapa bisa begitu? Kembali lagi ke hasil riset tadi, yaitu karena sel-sel dalam otak kita masih belum terbiasa untuk melakukannya.
Jika boleh saya gambarkan maka saya akan katakan bahwa didalam otak kita itu ada seorang insinyur dan para pekerja bangunan. Sang arsitek atau insinyur dalam otak kita bisa membaca, mempelajari bahkan menggambarkan ulang pola dari apa yang ingin kita tiru dari orang lain. Nah, pola atau skema yang sudah digambar tadi akan dipajang lebar-lebar di dinding otak agar bisa dilihat oleh para pekerja bangunan.
Tapi hal itu tidak lantas membuat para pekerja bangunan bergerak dan membangun bangunan tersebut dalam sekali lihat, tapi perlu ada latihan. Ketika seseorang melatih kemampuannya, maka para pekerja itu akan bergerak dan mulai membangun bangunan tersebut mulai dari pondasi yang paling bawah. Dan saat kita tidak sedang berlatih, saat itu juga para pekerja itu menganggur dan tidur sementara bangunannya belum selesai.
Hanya jika kita terus berlatih-berlatih dan berlatih, maka para pekerja tersebut akan terus dan terus bekerja tak kenal lelah membangun bangunan yang kita sebut dengan TALENTA dalam diri kita. Semakin sempurna bangunan itu, maka akan semakin bagus talenta seseorang.
Kemudian muncul pertanyaan. Bangunan seperti apa yang akan dibangun oleh para pekerja dalam otak kita? Apakah akan sama dengan bangunan yang ada pada otak orang lain? Tentu berbeda, tiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Keunikan tersebut terbangun oleh latar belakang serta pengalaman yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga walaupun sama-sama membangun bangunan talenta sepak bola, tentu akan ada perbedaan diantara keduanya. Inilah yang dinamakan dengan karakteristik dari talenta seseorang.
Ada banyak sekali pemain gitar yang hebat, tapi mungkin genre dan aliran musiknya berbeda. Bisa jadi aliran dan genrenya sama, tapi temponya berbeda. Bisa jadi temponya sama, tapi cara memadukan tonenya berbeda. Bisa jadi perpaduan tone serta ritmenya sama tapi cara menggenjrengnya berbeda. Keunikan kita membuat talenta kita tetap orisinal milik kita sendiri.
Nah, tapi deep practice itu sendiri menurut Coyle itu apa? Udah, ini aja dulu. Nanti lagi.
Alhamdulillah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H