Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tumbal

6 September 2020   20:30 Diperbarui: 11 September 2020   21:09 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Siapa nama anak ini, Mas?”
“Tidak tahu.”
Bayi itu mulai tenang dalam dekapan sang istri. “Dari mana atasanmu mendapatkannya?”

“Dia tidak bilang. Seseorang yang tidak kukenal mengantarkannya hari ini. Mungkin ia dibeli dari orang tua yang sedang butuh uang, atau mungkin saja diculik dari ibunya.”

“Kasihan benar nasibmu, Nak,” melas sang istri sambil mengusap pipi gembul bayi itu. “Lalu apa yang akan dilakukan pada anak ini nanti, Mas?” lanjut sang istri.

“Tidak tahu. Yang pasti hal mengerikan. Mungkin lebih baik kalau aku tetap tidak tahu.”
Gantian. Kini sang istri yang mulai menangis.
***
Bayi itu diasuh dengan baik oleh istri Pius. Wanita itu tidak pernah melepaskan bayi tanpa nama itu sedetik pun. Rasa kasihan perlahan berubah menjadi cinta. 

Perasaannya campur aduk setiap kali menatap bayi itu. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena akhirnya bisa merasakan menjadi seorang ibu. Perasaan yang yang tak kunjung didapatkannya sejak sepuluh tahun berumah tangga.

Di sisi lain ia merasa sedih karena anak tak berdosa ini akan menjadi tumbal dari ketamakan manusia. ia merasa hina karena tak bisa mencegah nasib malang yang akan dialami bocah ini. Dan saat perasaan itu datang, wanita itu akan mulai menangis.

Tiga hari berlalu tanpa terasa. Hari ini bayi tanpa nama itu harus pergi. Dia akan segera menghadap penciptanya dengan cara yang tragis.

Sabtu, menjelang tengah malam. Pius bersiap untuk mengantarkan bayi itu ke lokasi proyek. Sang istri menangis terisak. Berkali-kali bayi mungil itu diciumi. Berkali-kali pula ia meminta sang suami untuk tidak membawanya. Percuma saja. Keputusan Pius sudah bulat. Kesempatan untuk tidak melakukannya sudah hilang ketika ia menerima si bayi. Pius dengan berat hati harus memisahkan bayi itu dari istrinya. Pius pergi.

Sang istri sudah membayangkan hal-hal mengerikan yang akan dilakukan pada bayi malang itu. Mungkin bayi itu akan diletakkan di fondasi bangunan, kemudian dibenamkan dalam adukan beton. Atau mungkin bayi itu akan disembelih lebih dulu. Sepertinya itu lebih baik karena ia tidak akan merasakan sakit terlalu lama, pikir istri Pius.

Jam dua pagi. Sang Istri masih duduk merenung di pojokan ranjang. Ia tidak punya keinginan sedikit pun untuk tidur meski batinnya teramat lelah. Terdengar olehnya mobil sang suami. Wanita itu segera membaringkan tubuhnya, memaksa matanya untuk terpejam. Wanita itu sedang tidak ingin berbincang, terutama dengan sang suami.

Tangisan bayi terdengar lirih di telinga sang istri. Ya Tuhan, kini kau mau menyiksaku dengan suaranya, batin sang istri. Air matanya meleleh tanpa bisa dibendung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun