Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tiang Listrik

30 Agustus 2020   21:59 Diperbarui: 1 September 2020   11:43 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiang Listrik. (Dok. pribadi)

Aku jadi tiang listrik. Saban hari kerjaku cuma satu, berdiri mematung menyangga kabel. Jangankan berpindah tempat untuk melihat luasnya bumi yang melahirkanku, istirahat barang sebentar pun aku tidak bisa. Sungguh pekerjaan yang amat membosankan.

Padahal kukira aku akan dijadikan senjata. Bisa berkeliling ke berbagai belahan dunia dan menebar ketakutan pada siapa saja. Alat berat yang mengerukku dari perut bumi bilang, manusia sedang butuh banyak bijih besi untuk dijadikan alat perang. "Para manusia sedang melakukan apa yang ditakutkan malaikat, dulu. Membuat kerusakan di muka bumi," tambah si alat berat.

Aku sudah membayangkan betapa gagahnya diriku saat dijadikan pesawat tempur, atau tank, atau mungkin bedil. Para manusia akan berlutut sambil mengangkat tangan di hadapanku. Setelah dipanasi ribuan derajat sampai meleleh, aku malah dicetak menjadi tiang listrik.

Hari ini tidak kurang membosankan dari kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Tidak banyak yang bisa dilihat di sini, tempatku ditanam. Sebuah gang sepi yang terletak di pinggiran kota. Kadang aku berpikir untuk mangkir dari tugasku. Membiarkan kabel-kabel bertegangan itu jatuh menimpa manusia supaya aku dipensiunkan. Dicabut dari tanah, dileburkan, dan kalau beruntung, aku akan jadi bedil. Untung, aku tidak sampai hati berbuat itu.

Ada seseorang yang melintas. Seorang lelaki. Sepertinya bukan orang kampung sini. Dia adalah orang kedua puluh tujuh yang lewat di jalan ini. Ayolah, aku tidak punya kegiatan lain selain menghitungi orang dan kendaraan yang lewat.

Lelaki itu berhenti di depanku. Dia menatap tajam diriku dengan mata merahnya. Bulu-bulu kasar yang tumbuh tak beraturan di wajahnya, membuat lelaki itu kelihatan menyeramkan. Pakaiannya kotor. Keringat merembes di sana-sini. Aku yakin, kalau aku punya hidung, aku akan mencium bau yang sangat memuakkan.

Lelaki itu diam dalam posisinya cukup lama. Ada apa dengannya? Atau jangan-jangan ada yang salah dengan cat hitam ditubuhku? Di tengah kebingunganku dia tiba-tiba memekik, "ANJIIING!"

Pundak lelaki itu naik turun mengikuti nafasnya yang memburu. Apa dia sedang marah padaku? Seingatku, aku tidak pernah berbuat salah padanya. Ah, mungkin lelaki ini gila. Satu jenis dengan si gila yang sering diarak dan dilempari batu oleh anak-anak di kampung ini. Hanya saja lelaki di hadapanku ini berbusana lengkap.

Dia akhirnya bergerak. Merogoh sesuatu dari dalam ranselnya. Ia mengeluarkan sebuah kaleng, kuas, dan tumpukan kertas. Tanpa permisi ia mengolesi tubuhku dengan cairan lengket dari kaleng itu, lalu menutupnya dengan selembar kertas bertuliskan "SEDOT WC".

Dasar tidak sopan! Memangnya aku papan iklan, apa? Dia seenaknya saja menodai kegagahanku dengan iklan sedot WC. Kalau aku punya tangan, pasti sudah kutampar wajah menyebalkannya.

Rasa jengkelku mendadak berubah jadi kebingungan. Lelaki itu tiba-tiba menangis. Meraung-raung seperti anak kecil yang merengek pada ibunya. Ia kemudian menghantamkan tinjunya ke tubuhku. Berkali-kali. Tidak puas juga, ia kemudian menggunakan batok kepalanya. Gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun