Mohon tunggu...
Gelora Nusantara
Gelora Nusantara Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Interested in politics, Immigration and Multiculturalism.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Belajar dari Penerapan Bebas Visa Jepang bagi Warga Negara Indonesia

26 Maret 2015   17:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:58 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam memberlakukan fasilitas bebas visa kunjungan bagi WNI, Pemerintah Jepang menetapkan persyaratan utama yaitu kewajiban untuk mendaftarkan paspor elektronik (e-passport) di Perwakilan/Kedutaan Jepang di Indonesia. Jika kita telisik persyaratan tersebut maka persyratan tersebut tidaklah sulit untuk dipenuhi oleh rata-rata orang Indonesia. Hanya butuh memiliki e-passport yang masih berlaku dan kemudian mendaftarkan paspor tersebut.

Hal ini tidak menjadi sulit karena memang beberapa tahun terakhir Imigrasi Indonesia telah mengeluarkan 2 (dua) jenis paspor yaitu paspor biasa dan paspor elektronik. Secara bertahap memang Imigrasi menghendaki pengurangan pengeluaran paspor biasa, hingga pada akhirnya nanti hanya akan ada satu jenis paspor biasa yaitu paspor RI yang telah memiliki fitur-fitur pengamanan elektronik sesuai dengan standard yang telah ditetapkan oleh International Civil Aviation Organisation (ICAO): yaitu paspor elektronik.

Yang perlu diperhatikan ialah alasan mengapa Jepang memberikan fasilitas tersebut dengan persyaratan yang sangat mudah. Memang tujuan utama Pemerintah Jepang dalam memfasilitasi BVKS bagi WNI ialah untuk meningkatkan jumlah kunjungan WNI ke Jepang. Beberapa tahun ini animo masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan wisata ke luar negeri memang sangat tinggi, dan Jepang walaupun bagi kebanyakan orang merupakan tujuan wisata yang dianggap mahal, akan tetapi stetap menjadi salah satu tujuan favorit. Pemerintah Jepang tentunya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menarik keuntungan dari tingginya minat WNI untuk berkunjung ke Jepang hanya karena kesulitan memperoleh visa.

Kesulitan mendapatkan visa adalah salah satu alasan utama batalnya suatu rencana perjalanan ke luar negeri khususnya ke negara-negara sistem visanya sangat ketat. Negara-negara barat yang tergolong sebagai negara tujuan migran (migration countries) – dalam pengertian perpindahan penduduk secara tetap antar negara – seperti Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa menerapkan sistem visa dengan menitikberatkan sisi keamanan/sekuriti dalam menetapkan apakah seseorang berhak diberikan visa atau tidak. Hal ini wajar dilakukan karena hal kedatangan migrant worker yang kemudian bermaksud untuk menetap secara permanen adalah isu yang sangat penting bagi negara-negara tersebut, sehingga batasan-batasan tertentu perlu diterapkan secara ketat untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan atau dianggap tidak akan menguntungkan perekonomian negara tersebut. Selain itu tentunya ada isu-isu lainnya seperti isu pencari suaka/asylum seeker maupun isu terorisme.

Jepang sendiri walaupun sering dikategorikan bukan sebagai negara migrant dalam artian tradisional seperti negara-negara barat diatas, akan tetapi jumlah migrant worker di Jepang termasuk yang cukup tinggi. Pemerintah Jepang merasa perlu untuk mengatur jumlah migrant worker secara proporsional sehingga tidak memberikan dampak yang tidak diinginkan dalam upayanya menjaga keutuhan budaya dan masyarakat Jepang, salah satunya melalui penerapan sistem visa yang ketat dan bahkan pemberian status kewarganegaraan bagi orang asing (naturalisasi) yang lebih ketat lagi.

Pertanyaannya ialah apakah dengan pemberian BVKS bagi WNI berarti sistem visa Jepang sudah melunak atau mengendur?

Sebenarnya sistem visa itu diterapkan untuk menjamin keamanan dalam artian Pemerintah Memiliki kesempatan untuk mengetahui siapa-siapa warga negara asing yang akan melintas masuk ke dalam wilayahnya melalui kegiatan pengambilan data diri seorang dalam proses aplikasi visa. Keputusan pemberian visa atau penolakan tentunya akan dikeluarkan setelah proses pertimbangan atas data-data yang diberikan oleh pemohon. Walaupun secara tradisional pengertian visa adalah keterangan tertulis atas persetujuan dari suatu negara bagi seseorang untuk masuk ke dalam wilayahnya, akan tetapi dalam prakteknya pemeriksaan keimigrasian (immigration clearance) di Bandar udara atau pelabuhan kedatangan yang menentukan apakah seseorang tersebut diizinkan masuk. Kebanyakan negara memperketat proses pemberian visa, agar mengurangi beban pejabat imigrasinya di tempat-tempat pemeriksaan keimigrasian di Bandar udara dan pelabuhan untuk memeriksa setiap orang asing pada saat kedatangan. Sebagai contoh di Bandara Internasional Sydney Australia, paduan antara sistem visa Australia yang ketat dan kewajiban bagi seluruh maskapai penerbangan untuk menerapkan aplikasi advance passanger processing (sistem pemrosesan data penumpang sejak awal pada saat penumpang check in di bandara asal) menjamin setiap penumpang dapat diselesaikan pemeriksaan keimigrasiannya dalam waktu yang sangat singkat, walaupun kemudian setelahnya penumpang harus tetap menghabiskan waktu yang lumayan lama di pemeriksaan berikutnya atas bagasi dan barang bawaan oleh pihak custom/bea cukai.

Sementara itu Jepang, proses pendaftaran paspor biometrik merupakan salah satu cara Pemerintah Jepang untuk mendapatkan informasi awal dari seorang WNI yang akan masuk ke wilayah Jepang. Perekaman data biometric ini (yang tersimpan dalam chip yang terdapat dalam e-passport) sejatinya berfungsi sebagai pengganti proses aplikasi visa. Tentunya setelahnya Imigrasi Jepang akan menggunakan data-data tersebut untuk bahan pertimbangan bagi Petugas Imigrasi untuk mengizinkan masuk atau sebaliknya menolak masuk WNI tersebut ketika ia mendarat di Jepang. Dalam skema ini beban pemeriksaan kembali ditumpukan kepada petugas imigrasi Jepang dalam proses pemeriksaan di bandara udara di Jepang.

Bagi Jepang, mungkin hal ini tidak terlalu sulit mengingat Jepang adalah negara yang tertib dan seluruh administrasi Pemerintahan di negeri ini mungkin telah tercatat dengan baik dengan bantuan teknologi informasi yang sangat maju. Setiap WNI yang pernah melakukan pelanggaran di Jepang, atau berdasarkan informasi intelijen diduga berbahaya bagi Jepang akan dapat disaring lebih awal melalui pencocokan dan profiling data biometric WNI tersebut dengan database yang dimiliki Jepang. Dari segi teknis keimigrasian, saat ini pengambilan biometric paspor atau pengumpulan data-data lainnya dari seseorang yang akan masuk ke suatu negara baik dalam proses aplikasi visa atau proses lainnya seperti yang diterapkan oleh Jepang, sangatlah penting. Hal ini guna menghindari terjadinya surprise effect di tempat pemeriksaan imigrasi di bandara dan pelabuhan internasional karena kedatangan seseorang warga negara asing yang tidak diinginkan keberadaannya. Hal ini juga untuk mempersiapkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh petugas imigrasi di lapangan jika orang yang tidak diinginkan tersebut sudah terlanjur mendarat, seperti melalui pengambilan keputusan denied entry secara cepat, sehingga maskapai yang membawa penumpang tersebut dapat segera mengangkut penumpang tersebut kembali ke negara asal keberangkatannya.

Jika Jepang bisa mencari jalan yang cermat untuk akhirnya dapat memberikan bebas visa tanpa mengorbankan aspek keamanan proses keimigrasiannya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Pemerintah RI dalam memutuskan menerapkan bebas visa kunjungan wisata secara lebih luas lagi sudah memikirkan jalan kompromi antara aspek keamanan keimigrasian dengan faktor-faktor lainnya yang diatasnamakan “asas manfaat”?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun