Dido terlihat panik pada Minggu malam itu. Aku dan dia jalan bersama teman-teman yang lain untuk makan malam mewah. Jika mengacu rencana awal, sesi nikmat ini disponsori oleh Dido. Alias, ditraktir.
Masalahnya, ketika tagihan datang, kartu debitnya hilang. Setiap saku dompet, celana, kemeja, dan jaket sudah dijamah tangannya. Hasilnya? Tidak ketemu. Sebagai informasi tambahan, aku sempat mengintip isi dompet Dido dan tak terlihat satu kertas uang pun di dalamnya.
"Tenang... coba ingat-ingat lagi. Mungkin tertinggal di kamar," kataku kepada Dido. Dalam situasi seperti ini, ya, sudah, terpaksa aku dan teman-teman yang lain patungan. Setelahnya, kami meninggalkan restoran, masuk ke dalam mobilku, dan Dido masih tetap tak bisa berpikir jernih.
"Gimana, nih, besok harus dinas ke luar kota lagi. Tiga hari pula di sana." Firasatku sudah tak enak mendengar ucapan Dido ini. Siap-siap. Satu. Dua. Tiga. "Andi, kamu, kan, temanku yang paling dekat. Sahabat, best friend. Pinjam duit, he he. 'Kan aku gak sempat kalau mau urus kehilangan ATM."
Benar saja. Aku menatapnya, dan mengangguk dengan wajah datar. Padahal hatiku menangis.
Yah.... mau bagaimana lagi? Inilah risiko jadi orang yang gak tegaan.
Aku tanya dia mau pinjam berapa, dan dia dengan mantap bilang 1,5 juta rupiah. Aku setuju, asal memang tak ada kartu debit Dido di kamarnya.
Dalam perjalanan pulang, aku sempat kepikiran Dido. Tepatnya, soal kebiasaan Dido kehilangan barang-barang yang wujudnya kecil. Dulu, ketika kuliah, dompetnya sempat hilang. Bukan sekali, bukan dua kali, tetapi lima kali. Ajaibnya, dompetnya selalu kembali.
Tetapi, Dewi Fortuna tak bisa terus-terusan berada di pihakmu, kan?