Mohon tunggu...
Gede Udiastama M
Gede Udiastama M Mohon Tunggu... Pegawai Hotel -

Pria yang menyukai kata kata: tiada hari tanpa belajar, semua orang adalah guru, semua tempat adalah ruang kelas. Bekerja sebagai Learning & Development Manager di sebuah hotel bintang lima di Bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebelum Kita Cap Negatif Si Pencorat-coret Seragam, Tanyakan Hal Ini

5 Mei 2017   06:04 Diperbarui: 5 Mei 2017   10:37 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya sudah menjadi tradisi dari anak anak sekolah yang dinyatakan lulus akan mencorat coret seragam sekolah mereka. Sudah tradisi juga, banyak orang termasuk para orang tua, kakak maupun para pendidik akhirnya berkomentar negatif mengenai hal ini.

Namun sebelum kita mencoba untuk mencap negatif anak anak ini, sudahkah kita, sebagai orang tua, sebagai kakak, sebagai pendidik bertanya pertanyaaan yang berbeda?

Daripada bertanya, ngapain kamu corat coret seragam sekolah, kenapa tidak bertanya apa yang menyebabkan mereka mencorat coret seragamnya?

Saya sangat percaya hukum sebab akibat. Saya percaya bahwa mencorat coret seragam sekolah (akibat) pastilah ada sebabnya.

Seingat saya, ketika saya seumur anak anak itu, saya adalah jenis manusia yang haus perhatian. Juga, itu adalah masa dimana saya perlu pengakuan, pujian dan dukungan. Tidakkah coret coret seragam sekolah adalah salah satu cara anak anak mendapatkan itu?

Daripada bertanya ngapain ini anak corat coret seragam, tidakkah mestinya kita bertanya sudahkah kita sebagai orang tua, kakak, maupun pendidik memberi anak anak itu cukup perhatian dan cukup pengakuan? Juga pujian serta dukungan?Sudah belum?

Jika kita merasa anak anak itu tidak mau mendengarkan nasehat, sudah cukup seringkah selama ini kita mendengarkan mereka? Sudahkah kita menjadi orang tua, kakak atau pendidik yang duduk menyisihkan waktu kita hanya untuk mencoba mengerti keluh kesah, cerita, masalah maupun mimpi mimpi mereka? Ataukah bibir kita terlalu banyak berbicara sehingga si telinga tidak sempat untuk mendengarkan mereka?

Jika kita merasa anak anak itu tidak penurut, sudahkah kita selama ini mencari tahu apa sebenarnya keinginan mereka? Sudahkah kita memberi mereka ruang yang membuat mereka benar benar bisa menjadi diri mereka sendiri? Sudahkah kita menghargai dan mendukung ide ide yang menurut mereka penting? Ataukah kita karena ego kita sebagai orang tua, kakak ataupun pendidik, malah lebih sering meminta mereka mengikuti apa yang kita mau?

Jika kita merasa anak anak ini nakal, sudahkah kita mampu menjadi contoh yang baik yang pantas untuk mereka kagumi? Sudahkah kita menjadi figur idola yang tanpa diminta akan mereka ikuti? Atau kita terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak sadar bahwa sang waktu telah menjauhkan mereka dari kita?

Padahal kan, corat mencoret adalah kebahagiaan awal kita. Siapa coba yang waktu kecil tidak pernah mencorat coret tembok? Atau kertas deh? Atau meja deh? Atau wajah deh? Atau tanah deh? Atau pasir deh? Bahagia tidak?

Namun apa daya, orang dewasa telah memindahkan kata "mencorat coret" dari kamus kumpulan kegiatan menyenangkan lalu memasukkannya ke dalam daftar perbuatan perbuatan nakal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun