Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Patut Contoh Ayam untuk Menghadapi Bonus Demografi

26 Agustus 2016   21:35 Diperbarui: 26 Agustus 2016   21:59 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepengetahuan saya, angka reproduksi semakin hari semakin rendah, terlihat dari mayoritas pasangan muda telah memperhitungkan dan mengatur rencana untuk bereproduksi. Meskipun belum semua, namun hal ini cukup berbanding terbalik dengan generasi terdahulu, yang mana kecepatan reproduksi masih sangat tinggi, generasi yang masih memegang pedoman 'banyak anak banyak rezeki' seolah anak adalah mesin rezeki.

Sekarang ini 'hasil' dari generasi terdahulu sudah mulai mencapai usia produktif, dengan jumlah yang cukup besar itu. Dihadapkan dengan adanya pengurangan laju reproduksi dari kalangan pasangan muda dengan jumlah yang besar juga, melalui program Keluarga Berencana (KB). Mungkin perbenturan kedua arus ini yang menyebabkan Bonus Demografi di negara kita akan tumpah.

Seperti halnya 'bonus' jika kita dapat memetiknya akan memberikan keuntungan bagi kita. Akan tetapi, dalam bonus demografi jika kita tidak mampu mengarahkan dan mempergunakan jumlah yang besar itu, akan menjadi petaka bagi kita. Karena sulit menahan laju pikir dari mereka sehingga memungkinkan muncul tindak kriminal dengan berbagai motif. Ya, gairah yang membuncah sering membuat mata hati terpejam, bukan? Terbersit pikir, apapun caranya hasrat harus terpenuhi, apalagi dengan 'mahanya' godaan dari kehidupan kini, yang sudah kita akui sebagai era modern. Sehingga untuk memenuhinya, jadilah si A menjadi maling Ayam, atau si B untuk memenuhi gaya hidupnya jadilah maling jemuran.

Untuk model ini, saya sedikit bercerita tentang kisah keluarga kakek saya, yang mana anak sulungnya adalah bapak saya. Kakek saya mempunyai sembilan anak. Dari kesembilan bersaudara semuanya petani, karena dulu tidak ada yang sekolah, dan kurang keahlian lain.

Kakek saya mempunyai sebidang sawah (-1H) dan beberapa bidang tanah (ditotal 4 H), karena tidak ada ilmu dan keahlian meraup rezeki selain bertani, terpaksa kakek saya membagi kepada bapak dan saudaranya tanah yang dimilikinya sedidik-sedikit (baca : bagi adil).

Seiring berjalannya waktu dan sekarang sudah semua berkeluarga, yang perempuan ikut suami, hingga tinggal 5 lagi yang laki, satunya bapak saya. Dari 4 paman saya, saya sudah memiliki sepupu yang sekolah, paling sedikit 1 orang.

Sekarang timbul kesulitan, karena sedikitnya lahan yang diwariskan kakek sehingga tidak cukup memenuhi tingginya kebutuhan ekonomi di era ini. Harus bagaimana? Cuma satu solusi yaitu harus tahan hidup melarat, karena untuk membeli lahan uang tidak ada dan membuka lahan baru sudah tidak bisa dengan adanya larangan menebang hutan.

Bapak saya dan 3 saudaranya rela menjadi buruh serabutan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang. Nah, 1 paman saya tidak tahan hidup seperti itu, sehingga terjebak dalam bisnis ganja kelas teri. Bapak saya sebagai saudara tertua sering menegor, tapi tidak berhasil. Paman saya dengan alasannya 'tidak tahan susah' menepis tegoran bapak. Alasan yang cukup manusiawi bukan? Tapi, caranya yang keliru.

Akhirnya pada tahun 2003, paman saya masuk penjara, sekitar satu bulan sudah bebas. Nah lo, kok bisa? Heran saya. Saya tidak mempertanyakan kualitas penegak hukum, tidak sama sekali. Apakah paman saya insaf? Oh, tidak. Saya malah dengar kabar lebih gila lagi aksi paman saya.

Saya setuju 'sepandai-pandai tupai melompat, sesekali pasti jatuh', bahkan sekelas dan selihai Freddy Budiman apalagi paman saya. Pada tahun 2013, paman saya tertangkap lagi, sampai sekarang masih di penjara. Pikir saya kenapa paman saya tidak melobi ya, ketika membesuk di LP saya sedikit bercanda pada paman saya "loh paman, kenapa tidak dibayar saja?" terlihat raut menyesal pada muka paman saya.

Dari cerita keluarga saya diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebesar apapun bonus demografi yang akan datang, tapi kalau persiapan untuk menghadapinya kurang akan menimbulkan dampak yang memprihatinkan. Bukan nilai tambah yang didapat, melainkan nilai buruk. Alih-alih mendapat bantuan dari saudara, malah saudara yang lain juga minta dibantu, ada juga yang berbuat nekat seperti pamannya. Tidak on target, harapan yang tidak sesuai kenyataan, pasti pahit rasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun