Perang Baratayudha yang telah ditakdirkan harus terjadi tinggal menghitung hari. Kedua belah pihak terus meningkatkan kekuatannya. Perjanjian demi perjanjian disepakati. Koalisi Pandawa dan lawannya koalisi Kurawa semakin kuat. Koalisi tidak hanya terbentuk atas kesamaan kepentingan, tetapi juga tipu muslihat. Dan salah satu korban dari tipu daya itu adalah Prabu Salya.
Bersama pasukan kerajaan Mandaraka yang dipimpinnya, Salya beristirahat di satu area perkemahan. Perjalanan melelahkan dari Mandaraka menuju perkemahan Pandawa membuat Salya kehilangan kewaspadaannya. Dengan senang hati, Salya dan pasukannya menerima berbagai layanan, mulai dari makanan lezat, minuman segar, sampai tari-tarian penghibur.Â
Tetapi, alangkah terkejutnya Salya begitu mengetahui layanan memuaskan itu disuguhkan oleh Kurawa, bukan oleh Pandawa. Salya merasa telah dijebak. Dan, mau tidak mau ia dan pasukannya bergabung dengan bala tentara koalisi Kurawa. Apalagi Salya juga mertua dari ksatria Kurawa, Duryudhana dan Adipati Karna.Â
Salya memang salah seorang ksatria sakti mandraguna yang sulit dicari tandingannya. Konon, Sri Kresna pun tidak sanggup melaean ajian Candrabirawa yang dimilikinya. Bisa dikatakan, dukungan Salya merupakan kunci untuk meraih kemenangan.
Oleh mantan Menteri Penerangan Boediardjo (1968-1973) kisah Salya ini dikembangkan menjadi lakon tersendiri: "Salya Begal". Setiap 16 November, lakon ini dipentaskan untuk memperingatu HUT penciptanya.
Kalau " dulu" Salya yang dibegal. Jelang Pilgub DKI 2017 ini Risma yang tengah dicoba untuk dibegal. Tidak beda dengan Salya, Risma pun disebut-sebut sebagai kunci kemenangsn. Maka, tujuan dari pembegalan itu sama saja, yaitu untuk meraih kemenangan.
Memang tidak ada satu pun pasal di negeri ini yang melarang pembegalan terhadap warga negara yang tengah menduduki jabatan publik. Maka sah-sah saja kalau ada sekelompok orang yang mencoba membegal Risma dari jabatanbya sebagai Walikota Surabaya.
Jokowi memenangi Pilwalkot Solo 2010. Baru dua tahun terpilih sebagai Walikota Solo, Jokowi terjun dalam Pilgub DKI 2012 dan memenanginya. Hanya berselang dua tahun, Jokowi dicapreskan dan memenangi Pilpres 2014. Jadi dalam rentang waktu 5 tahun, Jokowi mengikuti 3 pemilu dan memenangi ketiganya. Kalau Jokowi mau, bukan cuma 3 pemilu, tapi 5 pemilu yang diikuti dan dimenanginya, Pilwalkot Solo 2010, Pilgub DKI 2012, Pilgub Jateng 2013, Pileg 2014, dan Pilpres 2014.Â
Begitu juga dengan Risma. Risma berpotensi memenangi Pilgub DKI 2017 setelah ia menenangi Pilwalkot Surabaya 2015. Selanjutnya, Risma berpeluang besar memenangi Pilgub Jatim 2018. Dan karena Pemilu 2019 berlangsung serentak, maka Risma harus memilih akan masuk Senayan atau Istana Merdeka.
Tidak ada yang salah. Itu semua karena konsekurnsi dari perundang-undangsn yang ada. Karena itu tidak seorang pun yang dapat mencegahnya Risma untuk nyagub di DKI.
Masalahnya, Risma bukan Jokiwi, bukan puka Alex Nurdin. Ketika nyagub DKI 2012, Jokowi mendapat dukungan dari warga Solo. Nyaris tidak terdengar ada warga Solo yang menentangnya. Beda Jokowi, beda juga Alex. Nyagubnya Alex di DKI pada 2012 tidak menimbulkan reaksi pro-kontra dari masyarakat Sumsel. Sementara, rencana pencalonan Risma pada Pilgub DKI 2017 menimbulkan pro-kontra yang sengit.