Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mudahnya Patahkan Sederet Hoaks Pilpres 2019 yang Rugikan Jokowi-Amien

15 April 2019   20:33 Diperbarui: 15 April 2019   20:49 1892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yang terakhir di KPU, saya bulan Januari ke Singapura karena ada kebocoran data. 01 sudah membuat angka 57 persen, Allah itu maha segalanya, server yang dibangun 7 lapis itu bocor. Salah satunya bocor. Kita berusaha untuk menetralkan, tetapi data itu masih invalid. Sampai detik ini saya sudah bicara dengan pak Alfian. Pak, ini harus dituntaskan sebelum final tanggal 17 April. Karena begini, kalau kita nanti sudah tanggal 17, angkanya berapa yang untuk jadi pegangan kita belum ketahuan bapak. Masih angka 185, itu pun yang invalid banyak sekali," kata pria berbaju gelap.

Perkataan pria tersebut terakam dalam sebuah video yang kemudian memviral. Karuan saja publik pun dibuat heboh. Kecurangan pemilu lewat peretasan server KPU yang dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin seolah benar-benar  terjadi. Belakangan diketahui bila ucapan pria tersebut tidak lebih dari hoax.

Tetapi, kalau pun memang benar server KPU dijebol untuk memenangkan pasangan nomor urut 01, toh peretasan tersebut tidak mempengaruhi hasil pemilu yang sah. Sebab, hasil sah pemilu dihitung berdasarkan perhitungan manual, bukan elektronik.

Hoax diretasnya server KPU hanyalah satu dari sekian banyak jhoax yang disebarkan, khusunya oleh pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait pelaksanaan Pilpres 2019. Di luar itu masih ada sederetan hoax lainnya.

Tahun 2019 baru saja menginjak hari ketiganya. Pada hari itu lini masa media sosial dibanjiri konten berisi informasi hoax 7 kontainer surat suara tercoblos yang didatangkan dari China. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melaporkannya kepada pihak kepolisian sekaligus menegaskan ke-hoax-an informasi yang pada mulanya menyebar masif lewat grup-grup tertutup.

Tetapi, bagaimana jika pada suatu ketika benar-benar ditemukan surat suara yang sudah dicoblos. Tidak perlu sampai 7 kontainer. Tidak perlu juga sampai 70 juta lembar. Cukup hanya 1 kardus kecil dengan belasan surat suara tercoblos di dalamnya. Maka, seketika itu juga secara otomatis informasi 7 kontainer surat suara tercoblos dari China mendapat pembenarannya.

Kemungkinan di atas bukan mengada-ada. Terlebih setelah beredar propaganda yang dikemas dalam bungkus "Strategi Sun Tzu Ke-7". "Buatlah sesuatu untuk hal kosong. Buatlah tipu daya dua kali. Setelah bereaksi terhadap tipuan pertama dan kedua, musuh akan ragu-ragu untuk bereaksi pada tipuan yang ketiga. Namun tipuan ketiga adalah serangan sebenarnya untuk menangkap musuh saat pertahanannya lemah".

Karenanya, sangat disayangkan jika respon KPU berhenti sampai pada pelaporan dan penegasan akan ke-hoax-an isu ini. "Event Organizer" pesta demokrasi di Indonesia ini seharusnya bekerja lebih maksimal dengan menyampaikan penjelasan tentang ketidakmungkinan surat suara tercoblos tersebut digunakan untuk mencurangi pemilu.

Mungkin KPU tidak sampai ke situ karena sedang disibukkan dengan urusan DPT yang belum juga ramung.

Okelah kalau begitu. Mari sama-sama kita bantu KPU. Tapi, panjangkan dulu "sumbu".

Katanya, surat suara tercoblos tersebut akan didrop di TPS-TPS fiktif. Pertanyaannya, bisakah skenario kecurangan pemilu ini dilakukan? Jawabannya bisa dan sangat mudah dilakukan.

Hanya saja, skenario ini sudah terbongkar begitu hasil pemilu direkap di tingkat kelurahan/desa. Sebab, pada saat itu hasil pemilu di seluruh TPS yang ada di kelurahan/dihitung.

Jika pada saat itu muncul TPS yang tidak diketahui keberadaannya pasti akan menimbulkan pertanyaan dari seluruh timses yang dirugikan. Bukan hanya timses capres, tetapi juga timses dari masing-masing partai dan juga timses calon DPD.

Misalnya, di Desa Wanakerta pemungutan suara dilakukan di 30 TPS. TPS 01, TPS 02, TPS 03, sampai TPS 30. Begitu rekap di tingkat desa, muncul TPS 31, TPS 32, dan TPS 33. Para timses pasti akan bertanya, "Di mana lokasi ketiga TPS tersebut, Kok, kami tidak tahu?"

Kalau gampang terbongkar, logikanya skenario TPS Fiktif sangat tidak mungkin dijalankan.

Kemudian ada lagi skenario lainnya. Konon, surat suara yang sudah dicoblos tercoblos akan dimasukkan ke dalam kotak suara. Sebagai bumbu penyedap, kotak suara kardus dimasukkan ke dalam wajan penggorengan.

Pertanyaannya, kapan, di mana dan bagaimana surat suara tercoblos itu dimasukkan ke dalam kotak suara?

Ada yang bilang sebelum pemungutan suara digelar di TPS atau sudah diselundupkan ke dalam kotak suara di suatu tempat rahasia sebelum dibawa ke TPS.

Begini. Pemilih yang mendapati surat suara yang diterimanya sudah tercoblos dapat menggantinya dengan surat suara baru. Dan, surat suara tercoblos tersebut akan dihitung sebelum dimasukkan ke dalam amplop "Surat Suara Rusak".

Jadi, karena sudah dianggap rusak, surat suara tercoblos biarpun cuma satu tidak akan dihitung. Apalagi sampai satu kotak suara.

Atau disulap masuk kotak suara saat pemungutan suara tengah berlangsung. Ini keluguan model apalagi! Kalau yang ini sudah jelas-jelas sangat tidak mungkin.

Sebab, saat pemilu berlangsung di TPS. Ada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS yang berjumlah 7 orang. Ada dua orang Linmas atau Hansip. Ada saksi dari semua kontestan pemilu.

Di luar itu masih ada calon pemilih yang sedang antre menunggu giliran. Ada petugas Panwaslu, TNI, dan Polri yang mondar-mandir. Ada pemantau dari masing-masing peserta pemilu. Belum lagi warga yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di sekitar TPS.

Jadi bagaimana caranya menyusupkan surat suara tercoblos tanpa ketahuan sekian puluh pasang mata?

Mungkin hanya dukun santet yang mampu.

Bagaimana kalau surat suara tercoblos dimasukkan setelah pemungutan suara berakhir?

Untuk menjawab yang satu ini, "sumbu" perlu dipanjangkan sedikit lagi.

Begini. Setelah tahap pemungutan suara selesai di TPS, kotak suara dibuka satu persatu lalu dihitung. Hasilnya dicocokkan dengan jumlah pemilih di TPS.

Jika jumlahnya cocok, barulah perolehan suara dihitung. Surat suara yang dicoblos pada tanda gambar peserta A ada berapa. Surat suara yang dicoblos pada tanda gambar peserta B ada berapa. Surat suara yang coblosannya tidak sesuai aturan alias tidak sah ada berapa. Hasilnya dicatatkan ke dalam dokumen Form C1 (nanti ditulis C1 saja).

C1 ini bukan cuma berisi data perolehan suara masing-masing peserta dan suara tidak sah. Tapi juga jumlah surat suara rusak dan surat suara sisa atau tidak terpakai. Nah, jumlah surat-surat suara itu harus sama dengan jumlah surat suara yang diterima TPS.

Selain itu, ada juga data jumlah pemilih. Data ini dirinci berdasarkan pemilih DPT, DPTb, DPK, dan DPKTb. Dan, masih dipilah juga berdasarkan jenis kelaminnya.

Nah, jumlah pemilih pastinya harus sama dengan jumlah surat suara yang digunakan. Kalau angka keduanya tidak sama, pemiu harus diulang. Inilah yang terjadi di sejumlah TPS saat Pilpres 2014. Padahal, hanya berselisih 1 angka.

C1 ini ditandatangani oleh 7 anggota KPPS dan seluruh saksi perserta pemilu. Kemudian C1 dan salinannya diserahterimakan ke KPU, Panwaslu, dan juga seluruh saksi. Jadi, dokumen ini bukan hanya dimiliki oleh penyelenggara pemilu.

Setelah ditandatanganinya C1, secara fisik surat suara sudah tidak penting lagi. Sebab, tahap rekap dari tingkat kelurahan/desa sampai ke tingkat pusat hanya berdasarkan pada C1.

Dengan begitu, setelah hasil pemungutan suara"dikonversikan" menjadi C1, jangankan menyusupkan sekardus surat suara tercoblos, sampai 7 kontainer pun tidak ada gunanya.

Begitu juga dengan memusnahkan surat suara. Seperti isu yang beredar di media sosial. Katanya, saat Pilpres 2014 ada sekotak surat suara yang dibuang ke sungai di Bekasi.

Sekali lagi, hasil pemungutan suara sudah "dikonversikan" ke dalam C1. Jadi jangankan hanya sekotak surat suara, sekardus, 7 kontainer, bahkan sampai seluruh surat suara dibuang pun tidak lagi mempengaruhi hasil pemilu.

Tunggu dulu. Ada yang konyol menggelitik dari hoax 7 kontainer surat suara tercoblos ini. Pemilu 2019 nanti digelar serentak. Oleh KPPS, pemilih diberikan 5 lembar surat suara; pilpres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten. Maka, secara keseluruhan, jumlah surat suara terpakai untuk pilpres sama dengan jumlah surat suara terpakai untuk keempat pemilu lainnya.

Kalau ada tambahan 70 juta surat suara terpakai untuk pilpres, logikanya surat suara terpakai DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten masing-masing bertambah 70 juta. Pertanyaannya, ke mana 280 juta suara DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten? Apa belum dikirim dari China?

Lebih repot lagi karena surat suara untuk DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten berbeda-beda untuk setiap daerah pemilihan (Dapil).

Entah siapa pelaku pembuat hoax 7 kontainer surat suara tercoblos ini. Bisa saja dia orang cerdas yang tahu pangsa pasar dari hoax yang dibuatnya atau bisa juga orang yang "bersumbu pendek". Namun pastinya konsumen hoax ini "bersumbu pendek" atau bahkan tidak "bersumbu" sama sekali.

KTP bukan Digunakan untuk Mencurangi Pemilu, tapi ...

Sekian paragraf di atas itu baru menyinggung tentang isu surat suara tercoblos yang dikombinasikan dengan isu kotak suara kardus. Padahal masih ada sejumlah isu lainnya, seperti isu kecurangan lewat penggunaan KTP, isu e-KTP tercecer, dan isu 31 juta pemilih siluman yang terkait selisih data Kemendagri dan data KPU.

Sama seperti isu 7 kontainer surat suara tercoblos, pertanyaannya, bisakah mencurangi pemilu dengan menggunakan KTP (baik itu e-KTP palsu maupun e-KTP ganda)?

Jawabannya sama, bisa dan sangat bisa!

Hanya saja, sama seperti surat suara tercoblos, kecurangan dengan modus ini pun dapat dengan mudah terbongkar. Apalagi penggunaan KTP memiliki keterbatasan.

Di samping waktu yang hanya berdurasi 1 jam, dari pukul 12.00-13.00, KTP juga hanya bisa digunakan di TPS yang berlokasi di RW sesuai KTP.

Langsung saja ke "soal cerita".

Sebut saja namanya Joko. Joko datang ke TPS 09 yang berlokasi di RT 01 RW 02 Kelurahan Watu Kali, Kecamatan Watu Krakal, Kota Watu Uloh. Kepada petugas KPPS, Joko menunjukkan e-KTP-nya.

Jika alamat pada e-KTP sama dengan lokasi TPS atau masih di wilayah RW 02, Joko berhak mencoblos di situ. Maka, petugas KPPS wajib memberikan surat suara kepada Joko.

Tetapi, bagaimana jika Joko tidak dikenal sebagai warga RW 02? Para saksi pastinya akan beraksi. Begitu juga dengan warga yang sedang riang gembira mengikuti jalannya pesta demokrasi di sekitar TPS. Belum lagi dengan sejumlah timses yang biasanya mangkal di sekitaran area TPS.

Bisa dibayangkan, Joko akan disosor sejumlah pertanyaan, diminta menunjukan rumahnya, dan lain sebagainya.

Kalau Joko tidak mampu menjawab pertanyaan dan tidak bisa menunjukkan rumahnya, maka otomatis terbongkarlah uoaya mencurangi pemilu yang dilakukannya.

Jelas sudah, mencurangi pemilu lewat modus penggunaan KTP hanyalah ilusi belaka. Apalagi jika pelaku lapangan tidak lancar berbahasa Indonesia.

Dengan begitu, isu pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja asing asal Tiongkok untuk memenangkan Jokowi pun secara otomatis terpatahkan.

Berikutnya isu pencurangan pemilu dengan menggunakan e-KTP tercecer. Kalau yang ini menjawabnya sangat begitu mudah. Seperti yang diberitakan, masa berlaku e-KTP yang tercecer di Bogor, Jakarta Timur, dan Sumatera Barat sudah habis alias kadaluarsa. Jadi, sudah tidak bisa dipakai lagi untuk mencurangi pemilu.

Kalau ada daerah yang masih "melegalkan" e-KTP kadaluarsa. Tetap saja tidak bisa digunakan untuk mencurangi pemilu. Kalaupun ada yang nekad dan pelakunya sebut saja bernama Bowo, maka Bowo akan diperlakukan seperti Joko.

Singkatnya, dua isu KTP ini tidak mungkin digunakan untuk mencurangi pemilu, tetapi bisa digunakan untuk membuat rusuh. Singkat saja, caranya dengan merekam peristiwa "diinterogasinya" Joko di TPS 09 kemudian kemudian memviralkannya. Gampang kan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun