Di luar itu masih ada calon pemilih yang sedang antre menunggu giliran. Ada petugas Panwaslu, TNI, dan Polri yang mondar-mandir. Ada pemantau dari masing-masing peserta pemilu. Belum lagi warga yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di sekitar TPS.
Jadi bagaimana caranya menyusupkan surat suara tercoblos tanpa ketahuan sekian puluh pasang mata?
Mungkin hanya dukun santet yang mampu.
Bagaimana kalau surat suara tercoblos dimasukkan setelah pemungutan suara berakhir?
Untuk menjawab yang satu ini, "sumbu" perlu dipanjangkan sedikit lagi.
Begini. Setelah tahap pemungutan suara selesai di TPS, kotak suara dibuka satu persatu lalu dihitung. Hasilnya dicocokkan dengan jumlah pemilih di TPS.
Jika jumlahnya cocok, barulah perolehan suara dihitung. Surat suara yang dicoblos pada tanda gambar peserta A ada berapa. Surat suara yang dicoblos pada tanda gambar peserta B ada berapa. Surat suara yang coblosannya tidak sesuai aturan alias tidak sah ada berapa. Hasilnya dicatatkan ke dalam dokumen Form C1 (nanti ditulis C1 saja).
C1 ini bukan cuma berisi data perolehan suara masing-masing peserta dan suara tidak sah. Tapi juga jumlah surat suara rusak dan surat suara sisa atau tidak terpakai. Nah, jumlah surat-surat suara itu harus sama dengan jumlah surat suara yang diterima TPS.
Selain itu, ada juga data jumlah pemilih. Data ini dirinci berdasarkan pemilih DPT, DPTb, DPK, dan DPKTb. Dan, masih dipilah juga berdasarkan jenis kelaminnya.
Nah, jumlah pemilih pastinya harus sama dengan jumlah surat suara yang digunakan. Kalau angka keduanya tidak sama, pemiu harus diulang. Inilah yang terjadi di sejumlah TPS saat Pilpres 2014. Padahal, hanya berselisih 1 angka.
C1 ini ditandatangani oleh 7 anggota KPPS dan seluruh saksi perserta pemilu. Kemudian C1 dan salinannya diserahterimakan ke KPU, Panwaslu, dan juga seluruh saksi. Jadi, dokumen ini bukan hanya dimiliki oleh penyelenggara pemilu.