Nama Menteri Koordinator Bidang Bidang Politik Hukum dan HAM Luhut Panjaitan disebut-sebut dalam transkrip “Papa Minta Saham”. Tidak tanggung-tanggung nama Luhut disebut paling banyak, 16 kali sedang Jokowi disebut sebanyak 10 kali.
Dalam transkrip tersebut, Seyta Novanto mengaku kalau dirinya bersama Luhut menyetujui perpanjangan kontrak PT Freeport, Masih menurut transkrip, empat tahun yang lalu Luhut telah bertemu dengan Chairman Freeport-McMoran Inc James Robert Moffet atau Jim Bob di Santiago, Chili. Selain soal Freeport, Luhut pun dikatakan terlibat dalam urusan bagii-bagi saham Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Karena namanya paling banyak disebut dan dalam transkrip percakapan itu tergambar perannya sebagai sutradara dalam proses perpanjangan kontrak Freeport, maka banyak yang menuding Luhut sebagai sosok “papa” yang minta saham.
Begini.
Pertama, Pramono Anung mengungkapkan jika pihak istana telah mengetahui adanya rekaman pembicaraan itu sejak lama. Artinya, sebelum Sudirman Said membeberkannya kepada publik, istana telah lebih dulu membahasnya. Dengan demikian, segala resiko menyangku pengungkapan pembicaraan “Papa Minta Pulsa” sudah diperhitungkan.
Kedua, istana adalah “makhluk” politik. Tindakan makhluk politik, apakah ia seorang politisi atau organisasi politik pasti lebih memperhitungkan unsur politik ketimbang lainnya. Tindakan makhluk politik yang mendapatkan barang berharga seperti rekaman “Papa Minta Saham” pastinya berbeda dengan tindakan institusi penegak hukum. Jika institusi penegak hukum wajib menggunakan rekaman tersebut sebagai bukti awal penyelidikan, maka seorang politisi atau organisasi politik dapat saja menggunakannya sebagai alat tawar.
Karenanya dalam konstelasi politi tanah air seperti sekarang ini, sebenarnya rekaman (baru dikeluarkan transkripnya) “Papa Minta Saham” lebih bermanfaat jika digunakan sebagai alat tawar untuk mengendalikan lawan politiknya.
Ketiga, faktanya pemerintah lewat Menteri ESDM Sudirman Said lebih memilih membeberkannya kepada publik. Dengan demikian pemerintah tidak memilih menggunakan rekaman “Papa Minta Saham” sebagai alat tawar, tetapi menggunakannya untuk membongkar adanya proyek percaloan dalam perpanjangan kontrak PT Freeport.
Keempat, respon istana yang terkesan santai dalam menyikapi beredarnya transkrip percakapan “Papa Minta Saham”. Bahkan, Jokowi sendiri sempat berkelakar kepada wartawan yang menanyakannya dengan mengatakan ada “Mama minta pulsa” ada “Papa minta saham”. Dari situ terbaca jika nama-nama kalangan istana yang disebut dalam rekaman tersebut dinyatakan bersih. Dalam artian, nama-nama tersebut dicatut oleh para pembicara.
Dari serentetan argumen di atas sulit untuk menyebut Luhut sebagai sutradara “Papa Minta Saham”. Namun demkian Luhut, juga istana, tetap harus mengklarifikasinya.
Yang sebenarnya menarik untuk dicermati adalah rekaman “Papa Minta Saham” yang justru diberikan sendiri oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Tindakan seperti biasanya dilakukan jika si perekam merasa dirinya dirugikan atau menyadari jika tengah dikibuli, dikerjai, atau dijahati.