Hamdalah pertengahan bulan lalu saya diberi kesempatan untuk menghadiri acara Tunas (Temu Nasional) Jaringan Gusdurian di Surabaya. Semula, sempat ragu berangkat atau tidaknya lantaran nafas dompet yang tersengal-sengal. Namun, tanpa diduga, ada kejutan baik. Saya beserta yang lain dapat tiket kereta diskon. Jadilah pulang pergi Surabaya 60k. Kejutan memang kadang begitu.
Mengawali bulan, novel Pram berikutnya yakni Midah Simanis Bergigi Emas saya tuntaskan. Seperti biasa, buku ini hasil pinjaman saya ke seorang kawan di Pejaten, Jakarta Selatan. Terima kasih sudah berkenan meminjamkan. Selain Midah, buku Cerita Dari Jakarta Pram pun turut saya bawa. Entahlah, alasan apa yang tepat kenapa masih saja membaca karya-karya Pram.
Midah nama yang pendek bukan? Ya begitulah Haji Abdul menamai anaknya. Midah adalah gadis anggun jelita yang manis senyumnya serta montok lekukan tubuhnya. Sewaktu kecil, Midah adalah anak yang paling disayang. Segala yang dipinta, diberi. Midah ditimang-timang sambil menikmati musik Umi Kulsum. Begitula bapaknya, seorang yang taat beragama dan menyukai musik Umi Kulsum. Namun kenyamanan dan kasih sayang orang tua Midah mulai pudar tatkala ia punya adik baru. Saat itu, Â usia Midah belum genap 10 tahun. Sejak kelahiran si adik, perhatian emak dan bapaknya mulai direnggut.
Ragam lagak ia perlihatkan agar mencuri perhatian, tapi semua luput. Tak lama kemudian Midah demam, bapaknya hanya datang membawakan kue lalu pergi. Emaknya senang sendiri bersama si adik. Kenyamanan dan kenikmatan Midah kini pupus. Emak bapaknya berubah tidak seperti dulu. Karena rasa kenyamanan di dalam rumah tidak ia temukan lagi. Akhirnya Midah pergi ke luar rumah, mencari kenyamanan baru. Di luar, Midah menemukan suatu hal yang membuatnya nyaman.Â
Deretan jalan Kampung Duri hingga Matraman Midah langkahi. Di jalanan Midah bertemu rombongan pengamen keroncong Midah tertawan olehnya, Midah dibuat cinta dengan musiknya. Hari-hari Midah jalani dengan jenuh, satu waktu ia sempatkan beli kaset piringan musik keroncong. Tanpa sadar, Midah dengan cepat hafal semua lagi keroncong. Saat asyik mendengarkan lagu keroncong, tiba-tiba bapak Midah pulang dari tokoh. Jauh-jauh bapak sudah berteriak: haram! haram! Siapa memutar lagu itu di rumah? saat tahu Midah mengiringi lagu, cepat-lesatan tangan keras menampar pipi Midah hingga tersungkur jatuh. Pandangan bapaknya merah padam. 'Siapa yang mengajari engkau menyanyi lagu haram ini? tanya bapaknya.' Plakk!! Tangannya kini mendarat di kepala Midah. Midah tak menjawab. Ia lari ke ibunya. Di depan bapak, ibu tiada guna. Cuma bisa diam melihat Midah menangis. 'Siapa yang mengajar? Jawab! Kalau tidak, aku banting kau di lantai.' Teriak lagi bapaknya.
Kejadian tadi menggoncangkan hati Midah. Midah malu kepada segalanya. Muka marah bapaknya terekam jelas. Midah murung, mendekam di kamar seharian. Usia Midah bertambah, sayup-sayup terdengar ia akan dijodohkan. Ya Midah dijodohkan dengan Haji Terbus. Bapak-bapak yang memiliki banyak istri tapi kaya raya. Dari pernikahannya, Midah yang tahu kalau suaminya bukan bujang ia putuskan untuk meninggalkan rumah, pergi melarikan diri. Midah memilih pergi merantau ke Jakarta.
Pada fase pelarian inilah Pram menggambarkan perempuan muda begitu kuatnya untuk bertahan hidup. Midah memutuskan untuk jadi pengamen keroncong jalanan. Dari resto ke resto Midah hinggapi. Dari pintu ke pintu Midah ketuki. Paras dan suaranya yang cantik jadi poin lebih bagi Midah. Oleh Pram, Midah dituturkan sebagai perempuan yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup. Sekalipun Midah hanya penyanyi dengan julukan simanis bergigi emas. Dengan kandungan yang semakin membesar, Midah memang tampak kelelahan. Tapi manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa hidup jalanan yang ganas dan liar harus ia jalani. Diakhir, kita tahu Midah kalah secara moral. Dalam pertaruhan hidup yang pengap itu: Midah menjadi penyanyi sekaligus pelacur.
Di novel ringan ini, Pram lugas menggambarkan dua jiwa seorang humanis dan moralis. Satu sisi Pram hendak menegaskan kekuatan perempuan muda menjalani ganasnya kehidupan. Tapi di sisi lain memperlihatkan kebusukan golongan moralis lewat bapaknya dan suami Midah. Mereka rajin berzikir dan taat beragama tapi miskin citarasa kemanusiaan dan juga serakah.
Silakan layak baca, banyak nilai dan pelajaran yang diserap saat menuntaskan novel ini. Saat kalian membaca review ini, penulis tengah membaca kumcer Eka Kurniawan dan Cerita Dari Jakarta sambil menyiapkan diri: bakal ada kejutan apa lagi di depan. Terima Kasih.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI