Mohon tunggu...
gaspar gandu
gaspar gandu Mohon Tunggu... Guru

Gaspar Gandu ( Geron)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berkeringat dikebun, tapi tidak terbayar

25 September 2025   15:42 Diperbarui: 25 September 2025   15:42 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Antara Potensi Alam dan Ketidakadilan Pasar Desa Kerirea, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah yang secara geografis memiliki potensi besar dalam sektor pertanian dan perkebunan. Terletak di dataran tinggi dengan curah hujan yang cukup serta kesuburan tanah yang relatif baik, desa ini menjadi tempat yang ideal untuk pengembangan berbagai komoditi pertanian, termasuk kemiri dan kakao. Sayangnya, potensi besar ini belum sebanding dengan kesejahteraan petani setempat. Salah satu penyebab utama adalah ketidakpuasan yang mendalam terhadap harga jual komoditi yang dianggap tidak adil dan merugikan petani. 

Potensi Alam yang Tidak Diimbangi oleh Harga Jual Petani di Desa Kerirea telah lama menggantungkan hidupnya pada hasil kebun, khususnya kemiri dan kakao. Kedua komoditi ini tumbuh subur di wilayah ini, dengan hasil panen yang cukup melimpah setiap musimnya. Namun, ironi terjadi ketika harga jual di tingkat petani justru sangat rendah, bahkan tidak sebanding dengan jerih payah mereka dalam merawat tanaman hingga panen.

 Misalnya, harga kemiri kering di tingkat petani sering kali hanya berkisar antara Rp27.000  per kilogram, jauh dari harga jual di pasar nasional. Kakao pun bernasib serupa; meskipun permintaan global terhadap kakao terus meningkat, harga yang diterima petani tetap menurun. Dalam kondisi seperti ini, petani hanya menjadi bagian paling bawah dari rantai distribusi, sementara keuntungan lebih banyak dinikmati oleh  pedagang besar. 

 Letak geografis Desa Kerirea yang relatif terpencil dan jauh dari pusat perdagangan utama menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya posisi tawar petani. Akses jalan yang terbatas, infrastruktur yang belum memadai, serta minimnya sarana transportasi membuat petani sulit menjual hasil panennya secara langsung ke pasar besar atau koperasi di luar daerah. 

Akibatnya, petani terpaksa menjual hasil panennya langsung kepada perentara atau pedagang disekitar  desa, yang tentu saja membeli dengan harga serendah mungkin. Karena tidak ada pilihan lain dan desakan kebutuhan ekonomi, petani pun menerima harga tersebut meski jauh dari harapan. Geografis yang seharusnya menjadi potensi (karena kesuburan dan iklim yang cocok) justru menjadi kendala akibat kurangnya perhatian terhadap pembangunan infrastruktur dan distribusi pasar.

 Ini menciptakan ketimpangan struktural yang memperpanjang rantai ketidakadilan bagi petani kecil. Minimnya Intervensi Pemerintah dan Akses Pasar Satu hal yang sangat dirasakan oleh petani di Desa Kerirea adalah minimnya campur tangan pemerintah daerah maupun pusat dalam menjembatani masalah harga dan distribusi hasil pertanian. Tidak ada badan usaha milik desa (BUMDes) yang kuat, tidak ada koperasi petani yang aktif, dan tidak ada program stabilisasi harga yang melindungi petani dari fluktuasi pasar. Jika saja pemerintah atau pihak swasta hadir dengan solusi konkret seperti membangun gudang penyimpanan hasil panen, mendirikan koperasi pemasaran, atau menjalin kemitraan langsung dengan pabrik pengolahan kemiri dan kakao, maka posisi tawar petani akan meningkat. 

Tanpa intervensi seperti ini, petani akan terus berada dalam lingkaran ketergantungan dan ketidak berdayaan. Harapan Petani dan Jalan Keluar dari Masalah Ketidakpuasan terhadap harga bukan hanya tentang nominal uang, tetapi juga tentang pengakuan atas kerja keras dan martabat petani. Petani di Desa Kerirea tidak mengharapkan kaya mendadak, tetapi mereka menginginkan keadilan: bahwa apa yang mereka tanam dan rawat selama berbulan-bulan dihargai dengan pantas. 

Solusi jangka panjang tentu membutuhkan kerja sama dari banyak pihak. Pemerintah daerah perlu membuka akses jalan dan transportasi ke desa-desa terpencil seperti Kerirea, sementara lembaga pertanian dan swasta dapat memberikan pelatihan manajemen hasil panen dan pemasaran. Di sisi lain, petani juga perlu mulai membentuk kelompok tani atau koperasi untuk memperkuat posisi mereka dalam rantai distribusi. Lebih jauh lagi, pengembangan teknologi informasi seperti platform digital untuk memasarkan hasil panen langsung ke konsumen akhir bisa menjadi game changer yang signifikan. Dengan demikian, petani tidak perlu lagi bergantung sepenuhnya pada tengkulak.

 Ketidakpuasan terhadap harga komoditi kemiri dan kakao di Desa Kerirea adalah cerminan dari masalah struktural yang lebih besar: ketimpangan akses, minimnya infrastruktur, dan lemahnya dukungan kelembagaan. Sudah saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan melihat lebih dekat ke desa-desa seperti Kerirea, tidak hanya sebagai penghasil komoditi mentah, tetapi sebagai bagian penting dari ketahanan pangan dan ekonomi daerah. Petani di Desa Kerirea bukan meminta belas kasih, melainkan keadilan ekonomi yang selama ini absen. Dengan keberpihakan yang nyata, bukan tidak mungkin Desa Kerirea bisa menjadi contoh sukses pengelolaan pertanian rakyat di daerah terpencil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun