Bayangkan dahulu kala, suatu sore di tahun 2010-an. Di antara deru knalpot dan aroma kopi sachet di pangkalan kecil, beberapa bapak-bapak tampak akrab dengan deretan motornya yang terparkir rapi. Di antara mereka terjalin ekosistem sosial kecil yang solid, mereka saling mengenal, saling menjaga wilayah, dan saling berbagi rezeki.
Kini, sepuluh tahun kemudian, pemandangan itu nyaris tinggal kenangan. Orang tak lagi berjalan ke pangkalan untuk menawar tarif. Mereka cukup membuka aplikasi, menekan tombol "order", dan dalam hitungan menit, pengemudi datang menjemput. Praktis? Tentu. Tapi di balik kemudahan itu, ada perubahan sosial yang menarik untuk ditelusuri.
Bukan Sekadar Teknologi, tapi Pergeseran Dunia Sosial
Sosiolog Mark Granovetter pernah mengemukakan konsep embeddedness, yaitu bahwa setiap tindakan ekonomi selalu tertanam dalam jaringan sosial yang melingkupinya. Artinya, kegiatan ekonomi bukanlah urusan angka dan aplikasi semata, tapi juga tentang kepercayaan, norma, dan jaringan manusia.
Ojek pangkalan adalah contoh nyata dari embedded economy, dimana ekonomi benar-benar hidup dalam jalinan sosial. Hubungan antara pengemudi dan pelanggan terbangun melalui interaksi langsung. Harga dapat dinegosiasikan dengan obrolan santai, dan kepercayaan tumbuh melalui kedekatan yang terjalin dari hari ke hari. Solidaritas antar-tukang ojek menjadi "aturan tak tertulis" yang menjaga harmoni di pangkalan.
Ojek pangkalan pada masa itu bukan sekadar soal jasa transportasi, tetapi juga tentang jaringan sosial yang hangat dan penuh makna.
Saat Dunia Sosial Dipindahkan ke Layar
Kemudian datanglah gelombang digitalisasi. Kehadiran platform digital seperti Gojek dan Grab mengubah tatanan itu secara drastis. Tarif tak lagi ditentukan lewat tawar-menawar, tapi oleh algoritma. Kepercayaan bukan lagi soal "saya kenal dia", tapi soal rating bintang lima. Hubungan yang dulu bersifat personal berubah menjadi relasi yang dimediasi oleh sistem teknologi.
Inilah yang disebut para sosiolog sebagai disembedding---ketika aktivitas ekonomi terlepas dari konteks sosial tradisionalnya. Hubungan antar manusia yang dahulu berbasis kedekatan kini digantikan oleh logika efisiensi dan aturan platform. Teknologi, bukan lagi komunitas, kini menjadi penentu aturan main segalanya.
Namun, dunia sosial tidak pernah benar-benar hilang begitu saja; ia hanya mencari bentuk barunya
Ketika Sosial Menemukan Jalannya Kembali
Para driver ojek online tidak sepenuhnya menjadi individu-individu yang terasing. Mereka menciptakan bentuk komunitas baru---baik di dunia nyata maupun maya.
Grup-grup daring bermunculan sebagai ruang bagi para pengemudi untuk saling berbagi informasi, memberikan dukungan, bahkan berkeluh kesah. Di banyak tempat, muncul pula kerumunan kecil di pinggir jalan---tempat mereka mengobrol sambil menunggu orderan. Suasananya mengingatkan pada pangkalan lama, hanya saja kini dengan wajah baru di bawah bayangan logo aplikasi.
Fenomena ini menunjukkan proses re-embeddedness, dimana dunia sosial yang sempat tercabut oleh teknologi, kini menanamkan dirinya kembali dalam bentuk baru. Teknologi tidak sepenuhnya menghapus dunia sosial, melainkan mendorongnya berevolusi---dari pangkalan ke ruang digital, dari tatap muka ke layar ponsel.