Publikasi ilmiah selama ini dipandang sebagai pilar utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui publikasi, peneliti membagikan hasil risetnya kepada masyarakat luas agar dapat dimanfaatkan, dikritisi, dan dikembangkan kembali. Namun, di balik semangat keterbukaan ilmu pengetahuan tersebut, terdapat sebuah kenyataan yang ironis: akses terhadap publikasi ilmiah justru semakin terbatas. Fenomena inilah yang disebut sebagai paradoks publikasi ilmiah modern.
Di satu sisi, ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencerdaskan dan memajukan umat manusia. Namun di sisi lain, sistem publikasi ilmiah kini dikendalikan oleh segelintir penerbit besar yang menjadikannya ladang bisnis. Banyak jurnal ilmiah yang hanya dapat diakses dengan biaya tinggi, sehingga masyarakat umum maupun peneliti dari negara berkembang sulit mengaksesnya. Bahkan, sistem open access yang diklaim terbuka pun sering kali menuntut biaya publikasi (Article Processing Charge) yang sangat mahal bagi penulis.
Tekanan akademik untuk terus menerbitkan karya ilmiah juga menambah kompleksitas masalah. Budaya publish or perish (terbit atau tersingkir) mendorong dosen dan peneliti untuk fokus pada kuantitas, bukan kualitas. Tidak jarang, penelitian dilakukan sekadar untuk memenuhi kewajiban administratif, bukan untuk menjawab persoalan nyata di masyarakat.
Lebih ironis lagi, sebagian besar penulis dan peninjau artikel ilmiah tidak menerima imbalan apa pun atas kontribusi mereka, sementara penerbit komersial meraup keuntungan besar dari biaya langganan dan publikasi. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi milik bersama berubah menjadi komoditas ekonomi yang dikuasai oleh segelintir pihak.
Kondisi ini menuntut perubahan mendasar dalam sistem publikasi ilmiah. Pemerintah, universitas, dan lembaga riset perlu memperkuat infrastruktur open access nasional yang benar-benar bebas biaya dan inklusif. Selain itu, sistem penilaian akademik harus diarahkan untuk menilai substansi penelitian, bukan sekadar jumlah publikasi atau reputasi jurnal.
Ilmu pengetahuan tidak seharusnya dipagari oleh biaya dan status. Ia harus mengalir bebas, menembus batas-batas ekonomi dan institusi, agar benar-benar membawa manfaat bagi kemajuan bangsa. Karena sejatinya, ilmu yang terkunci di balik bayaran bukanlah ilmu yang mencerahkan.
Kesimpulan: Paradoks publikasi ilmiah modern menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan yang seharusnya terbuka justru terhambat oleh sistem komersial dan tekanan akademik. Akses yang mahal serta tuntutan “publish or perish” membuat tujuan sejati penelitian sering terabaikan.
Untuk itu, perlu dibangun sistem publikasi yang lebih adil, terbuka, dan terjangkau agar hasil penelitian dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua pihak. Ilmu pengetahuan seharusnya menjadi jembatan bagi kemajuan bersama, bukan sekadar komoditas yang bernilai ekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI