Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ayo Naik BIKUNS, Sepeda Listrik Asal Surakarta

27 September 2016   13:31 Diperbarui: 27 September 2016   18:35 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan BIKUNS ketika mengikuti pameran TGIF 2016 di Puspiptek - Serpong. (Foto: Gapey Sandy)

Naik sepeda enggak perlu gowes. Cukup putar gas atau tekan tuas di setang kanan. Lalu, nikmati sensasi lajunya. Kecepatan sepeda listrik ini maksimal 30 kilometer per jam. Lumayanlah, cepat juga kaaan …?

Sepeda listrik ini namanya BIKUNS. Akronim dari BIKE UNS. UNS sudah pasti Universitas Sebelas Maret yang berlokasi di Surakarta, Jawa Tengah.

BIKUNS mulai terwacana pada 2014. Ketika itu, Prof Dr Kuncoro Diharjo ST MT dari Fakultas Teknik memiliki ide untuk membuat sarana transportasi yang ramah lingkungan tetapi memiliki fungsi yang mumpuni. Gagasan brilian ini semakin menguat untuk diwujudkan bahkan memperoleh sambutan sekaligus dukungan aktif dari Miftahul Anwar, koleganya sesama staf pengajar di fakultas yang sama.

Bersama Miftahul Anwar yang menjabat Kepala Tim Peneliti Pusat Unggulan Strategi Nasional (PUSNAS) kemudian terbentuklah tim riset dan pengembangan sepeda listrik, dengan salah seorang anggotanya adalah Prof Kuncoro.

Yohannes Daud (kanan) menjelaskan tentang BIKUNS. (Foto: Gapey Sandy)
Yohannes Daud (kanan) menjelaskan tentang BIKUNS. (Foto: Gapey Sandy)
Sejaran awal kelahiran BIKUNS ini disampaikan Yohannes Daud, mahasiswa semester terakhir Pasca Sarjana Fakultas Teknik Mesin UNS kepada penulis. Ia menceritakan ide awal penciptaan BIKUNS ketika dijumpai di stand UNS dalam pameran Tangerang Selatan Global Innovation Forum (TGIF) yang pekan kemarin usai terselenggara di Puspiptek – Serpong.

“Pada 2014 terbetik pertanyaan dari Prof Kuncoro, kenapa kita tidak memiliki sarana transportasi yang bagus? Sejak itu, muncul gagasan untuk membuat prototype sepeda listrik. Pada tahun yang sama kami mulai mencoba pembuatan sepeda listrik, dan berhasil membuat generasi pertamanya pada 2015.

Hasilnya? Sebenarnya sudah bagus, tapi pada body sepedanya masih terlalu kelihatan kaku. Akhirnya kita edit dan desain perbaikan lagi. Hingga selesai generasi kedua pada Januari 2016. Nah, ketika mulai dipamerkan kepada publik, responnya ternyata sangat bagus,” tutur Yohannes yang mengaku terlibat sebagai anggota tim research and development BIKUNS.

BIKUNS generasi kedua ini tentu lebih baik bila dibandingkan dengan buatan sebelumnya. “Terutama pada desain body yang lebih dapat diterima pasar,” ujarnya.

Melihat sendiri bagaimana tampilan BIKUNS memang ada kesan seperti sepeda biasa saja. Bedanya cuma karena ia mampu “melahap” arus listrik sehingga punya kekuatan elektrik. Tapi, kesan ini langsung ditepis Yohannes.

BIKUNS menyasar target pasar ceruk khusus area green. (Foto: Gapey Sandy)
BIKUNS menyasar target pasar ceruk khusus area green. (Foto: Gapey Sandy)
“Ini bukan sekadar sepeda biasa, karena rangka sepedanya kita buat sendiri, desain industrinya semua sudah dipatenkan. Kalau disebut sepeda biasa, ya enggak juga, karena kita sudah mengubah chassis sepedanya. Chassis adalah rangka yang fungsinya menopang berat dan beban kendaraan, mesin serta penumpang. Chassisnya kita buat sendiri. Tapi memang, untuk komponen-komponen lain sama dengan sepeda biasa semua. Artinya, untuk masalah pengereman, rem depan, rem belakang, ban, velg, jari-jari, baut segala macam, bisa dicari di pasaran,” katanya.

Kalau diangkat tangan, berat BIKUNS berkisar 60 sampai 65 kilogram. Sedangkan untuk pengecasan baterainya membutuhkan waktu colok ke listrik selama 3 sampai 4 jam. “Nanti akan full. Ada lampu indikator di kotak panel sebelah setang kiri, sama seperti indikator baterai kalau kita men-cas handphone. Kalau sambil nge-charge terus kita tinggal tidur ya enggak apa-apa, karena nantinya kalau sudah full akan mati dengan sendirinya. Dengan baterai yang full, sepeda listrik ini bisa mencapai jarak tempuh hingga 30 kilometer,” jelas Yohannes.

Terus, bagaimana kalau baterainya habis di tengah jalan? Ya … hahahaaa, tinggal di-gowes seperti sepeda biasa ajalah. Toh, ringan juga. “Andai baterainya habis, kita gowes juga enggak terlalu berat, asal jalanannya masih lurus dan permukaan jalannya stabil.

Artinya, hampir sama seperti beratnya sepeda biasa, hanya saja ditambah beban beberapa kilogram lantaran ada baterainya. Ketika baterainya masih tersedia, tapi kita tetap ingin menggowesnya, maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Malah justru menggowesnya jadi lebih ringan, dan hemat baterai. Tetapi, kalau sambil menggowes kemudian berharap baterai dapat terisi secara otomatis, maka hal ini yang belum bisa terlaksana,” ujarnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun