Tersebut dalam Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana itu adalah "penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana".
Sepertinya, ini yang kurang di negeri kita. Acapkali ada bencana kita selalu gagap. Lalu tergopoh-gopoh menyelenggarakan penanganan bencana. Padahal ingat kan tadi, kita punya badan penanganan bencana sudah sejak 1945.
Indonesia baru merdeka, lembaga penangananan bencana sudah siap. Hebat bukan? Tapi soal gimana kinerjanya, silakan nilai sendiri-sendiri saja.
Mitigasi bencana di Jepang bisa kita contoh. Pertama, melibatkan ibu-ibu rumah tangga.
Jangan anggap remeh kaum ibu di Jepang lho, kalau sedang ada bencana. Mereka ini sudah terlatih cekatan mematikan aliran listrik dan gas di rumah bila ada gempa. Mengingatkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya untuk berlindung. Juga selalu aktif mempersiapkan ransel gawat darurat bencana.
Ransel "UGD" bencana itu berisi lampu senter, logistik untuk maksimal tiga hari, obat-obatan (P3K), power bank, uang saku, kartu identitas, peluit, masker dan lain sebagainya.
Indonesia bisa menirunya. Tak usah membentuk komunitas ibu-ibu rumah tangga tanggap bencana. Cukup maksimalkan yang ada saja. Misalnya dengan memainkan peran lebih banyak kepada ibu-ibu juru pemantau jentik (nyamuk DBD). Alias, para jumantik!
Mereka - "jumantikers" itu - sudah ada di struktural kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan sampai ke tingkat RW dan RT. Kerja mereka juga sudah terbukti. Teruji. Jangankan bak mandi warga, bahkan tatakan air dispenser rumah kita pun tak luput turut diperhatikan. Dicatat. Dilaporkan!
Nah, para kader jumantik bisa meneladani apa yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Jepang, dalam memitigasi bencana.