Hilman mengakhiri tulisannya dengan paragraf apik. Ia mengingatkan:
"Menghambat, mengancam dan membredel inovasi hanya langkah sementara untuk menunda kekalahan. Semua hanya soal waktu. Sementara di dunia internet dan teknologi yang tak lagi punya batas negara, perpindahan dan replikasi teknologi itu bisa terjadi dalam sekejap. Bila kita tak memanfaatkannya, maka orang lain yang akan melakukannya.
Setelah Alibaba membeli Lazada Rp 13 triliun tahun lalu, hari ini kita melihat begitu banyak seller dari China yang berjualan di Lazada. Tahun ini kabarnya Amazon akan rilis di Indonesia, dan kita akan segera lihat seller dari Barat ikut mencicipi manisnya triliunan uang kita. Kekalahan itu bukan lagi soal satu-dua pelaku usaha, tapi kekalahan sebuah bangsa.
Bila kita semua berpikir sama dengan cara lama, maka sebenarnya tak ada satupun dari kita yang berpikir.
By the way, sampai 11 Januari 2018, tulisan ini sudah diklik 1358 kali.
o o o O o o o
Baru membaca judul tulisan ini saja, sudah muncul hasrat untuk membacanya. Apalagi, ketika Hilman mengawali naskahnya dengan sebuah pertanyaan jeli:
"Bila McDonald menemukan bahwa roti prata yang diolah dengan kismis, cabe dan es krim ternyata jauh lebih lezat dibanding Big Mac, apakah mereka akan menjualnya?
Sebagai penggemar Big Mac, saya pasti akan protes kalau menu ini dicoret McDonald. Tapi, bukan urusan sajian burger "bertingkat" itu yang jadi fokus Hilman. Melainkan sekadar memberi gambaran bahwa inovasi bisnis itu perlu. Inovasi yang ditingkahi risiko usaha tinggi untuk sampai pada tahap bagaimana mampu melahirkan produk-produk kreatif dan inovatif.
Dalam bahasanya yang tegas tanpa tedeng aling-aling, Hilman mengungkapkan:Â